Fungi atau jamur merupakan penyebab penyakit infeksi yang utama pada
tanaman. Jamur merusak tanaman dengan berbagai cara. Misalnya
spora yang masuk ke dalam bagian tanaman lalu mengadakan pembelahan dengan cara
pembesaran sel yang tidak teratur sehingga menimbulkan bisul-bisul. Pertumbuhan
yang tidak teratur ini mengakibatkan sistem kerja jaringan pengangkut air
menjadi terganggu sehingga kehidupan tanaman menjadi merana (Wudianto, 1999).
Salah satu penyakit utama pada
pertanaman cabai yang disebabkan oleh cendawan adalah antraknosa atau pathek. Kerugian yang disebabkan oleh
antraknosa dapat mencapai 60 % atau lebih (Duriat et al., 1991; Hartman
dan Wang, 1992). Penyakit antraknosa sukar dikendalikan karena infeksi patogennya bersifat laten dan sistemik, penyebaran inokulum dilakukan melalui benih (seed borne) atau angin serta dapat bertahan pada sisa-sisa tanaman sakit. Serangan patogen antraknosa pada fase pembungaan menyebabkan persentase benih terinfeksi tinggi walaupun benih tampak sehat. Cendawan C. capsici dapat menyerang inang pada segala fase pertumbuhan (Sinaga, 1992).
Salah satu cara untuk
memeriksa kesehatan benih adalah dengan teknik isolasi patogen di mana kegiatan
ini bertujuan untuk menanamkan benih pada media yang telah ditentukan untuk
mengetahui ada tidaknya mikroorganisme patogenik yang terbawa oleh benih (seed born). Isolasi dianggap berhasil
jika tumbuh misellium di atas benih, dan miselium tersebut berasal dari spora
patogen yang terdapat dalam benih (terbawa benih). Metode yang bisa digunakan untuk isolasi patogen benih adalah metode
inkubasi, yaitu benih ditumbuhkan selama waktu tertentu pada kondisi yang
sesuai untuk pertumbuhan patogen (biasanya selama 5-7 hari, suhu 20±2oC, kelembaban udara >70%) (Sutopo, 1993).
Metode blotter merupakan salah satu
metode inkubasi dimana benih ditempatkan pada kertas saring, dan diinkubasi
biasanya selama 7 hari pada suhu 22oC dengan penyinaran 12 jam
terang dan 12 jam gelap. Setelah inkubasi perkembangan jamur dari masing-masing
benih di periksa dalam perbesaran yang berbeda dengan mikroskop stereoskopik dan
diidentifikasi (Mathur et al., 2003).
Praktikum Acara II dengan judul Deteksi Jamur Patogen Benih Cabe dilaksanakan pada tanggal 24-30 Oktober 2012 di
Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan Terpadu, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas
Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Alat dan bahan yang digunakan adalah benih
cabai sachet dari toko pertanian, petridish,
kertas saring, air steril, pinset, jarum preparat, lampu spiritus, NaOCl (kloroks) 1%, gelas benda, gelas penutup, saringan plastik, dan gelas beker.
Praktikum
ini berlangsung dua pertemuan. Pertemuan pertama melakukan perkecambahan pada
media kemudian diamati selama satu minggu dan pertemuan kedua melakukan
diagnosis jamur. Benih cabe
direndam dalam larutan NaOCl 1% selama 2 menit kemudian ditiriskan dengan
menggunakan saringan plastik. Petridish yang didalamnya terdapat kertas saring
dibasahi dengan air steril. Setelah itu benih cabe yang telah direndam tadi diletakkan dalam petridish sebanyak 50 butir per pertidish, diulang empat kali. Kemudian benih
diinkubasikan selama 7 hari dengan penyinaran 12 gelap dan 12 jam
terang di laboratorium. Kemudia dihitung jumlah benih cabe yang
terinfeksi jamur. Persentase infeksi dihitung dengan
rumus :
I = jumlah benih yang
terinfeksi x 100%
jumlah benih yang diinkubasi
HASIL PENGAMATAN DAN
PEMBAHASAN
Miselium cendawan merupakan
struktur yang cukup dominan ditemukan dalam tanah. Selain itu, miselium
cendawan ditemukan pula pada berbagai jenis tanaman yang terinfeksi oleh
cendawan patogen. Bagian yang terinfeksi meliputi benih, daerah perakaran, daun,
dan batang. Cendawan yang dominan menginfeksi tanaman adalah Aspergillus sp. (Agrios, 1996). Hal ini
dikarenakan cendawan tersebut memiliki spora mobilize dan dapat tumbuh pada suhu lingkungan dan kelembaban
relatif tinggi. Cendawan tersebut bersifat patogen pada tanaman dan hewan. Pada
umumnya, Aspergillus sp. dan berbagai
cendawan lain, memanfaatkan pati, hemiselulosa, selulosa, pektin dan polimer
gula lainnya sebagai nutrisinya. Benih tanaman memiliki endosperm sebagai
cadangan makanan untuk pertumbuhannya. Kandungan yang paling banyak dalam
endosperm adalah karbon berupa substrat pati (Carrol and Wicklow, 1992). Oleh
karenanya, berbagai jenis cendawan dapat tumbuh dengan baik pada benih tanaman
sebagai patogen yang memanfaatkan endosperm sebagai substratnya. Seperti
terlihat pada Tabel 1. yang menjelaskan mengenai infeksi patogen cendawan.
Tabel 1. Hasil deteksi benih terinfeksi
cendawan patogen dengan metode blotter.
Ulangan
|
Jumlah benih yang berkecambah
|
Benih yang sakit
|
I (%)
|
Patogen
|
1
|
48
|
0
|
0
|
-
|
2
|
43
|
1
|
2
|
Aspergillus sp
|
3
|
45
|
0
|
0
|
-
|
4
|
44
|
2
|
4
|
Aspergillus sp
|
Pada tabel 1.1 terlihat bahwa
dari 4 ulangan yang terdiri dari 50 benih ditiap ulangan, menunjukkan adanya
patogen cendawan yang menginfeksi benih cabe. Pada ulangan 1 dan 3 tidak terdapat
cendawan patogen yang menginfeksi, akan tetapi pada ulangan 2 dan 4 terdapat
cendawan patogen yang menginfeksi benih, yaitu 2% teruntuk ulangan 2 dan 4%
teruntuk ulangan 4. Infeksi tersbut ditandai dengan terlihatnya koloni spora
berwarna hijau (gambar 2) (Saryono et al.,
2002). Koloni jamur tersebut terlihat dengan menggunakan mikroskop dan itu
terdapat pada benih ulangan 2 dan 4.
Tabel 2. Hasil deteksi benih terinfeksi
cendawan patogen dengan metode PDA.
Ulangan
|
Jumlah benih yang berkecambah
|
Benih yang sakit
|
I (%)
|
Patogen
|
1
|
9
|
2
|
22.2
|
Aspergillus sp. dan Colletotrichum sp.
|
2
|
9
|
1
|
11.1
|
Aspergillus sp.
|
3
|
9
|
1
|
11.1
|
Aspergillus sp.
|
4
|
9
|
1
|
11.1
|
Aspergillus sp.
|
Pada tabel 2. terlihat
pertumbuhan cendawan Aspergillus sp.
dengan adanya benang-benang hifa berwarna coklat (Gambar 1). Hifa cendawan
lebih dominan daripada pertumbuhan bakteri. Hal ini dikarenakan nutrisi yang
tersedia dari medium pertumbuhan lebih cepat dipakai oleh hifa cendawan.
Sehingga pertumbuhan cendawan lain dan bakteri serta benih menjadi terhambat. Colletotrichum sp.
pun ditemukan dalam jumlah sedikit dan hanya satu koloni saja.
Gambar 1 dan 2. Hasil pengamatan deteksi cendawan dengan metode PDA
(kiri) dan koloni spora Aspergillus sp. (kanan)
Seperti yang dinyatakan oleh
Hedayati et al. (2007) bahwa spora Aspergillus bersifat aerosolid yang
dapat ditemukan disekitar dan terdeteksi lebih dominan jika dibandingkan dengan
cendawan lainnya. Hal ini dikarenakan spora yang dilepaskan ke lingkungan
sekitar lebih mudah mengalami pertumbuhan setelah melekat pada substratnya,
spora akan terbentuk dan lepas dari konidianya (Geizer, 2008). Spora terdeteksi
dengan menggunakan metode blotter.
Metode blotter merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mendeteksi
cendawan patogen. Terdapat 2 metode blotter
yang masing-masing diperuntukkan menguji cendawan dan bakteri, yaitu blotter dan PDA(Potato Dextrose Agar).
Dalam praktikum ini digunakan metode blotter
dengan tujuan untuk mengetahui berbagai jenis cendawan patogen yang berspora
aerosolid. Dari hasil yang didapatkan dapat dinyatakan bahwa deteksi patogen
dengan metode blotter dapat
memberikan hasil yang akurat untuk mendeteksi keberadaan cendawan patogen.
Namun, proses terjadinya infeksi tersebut dikarenakan tidaknya aseptis dalam
melakukan perlakuan percobaan. Pada ulangan 1 dan 3 tidak terlihat adanya
infeksi cendawan patogen. Jika diperhatikan lebih lanjut, benih tidak
terinfeksi dikarenakan pada percobaan yang dilakukan bersifat aseptis. Dari 50
benih yang ditumbuhkan, tidak semuanya tumbuh. Untuk ulangan 1 dan 3 dapat
dikarenakan benih yang digunakan tidaklah terbilang benih yang baik. Bisa saja
itu disebabkan benih masih mengalami dorman. Sedangkan pada ulangan 2 dan 4,
benih tidak tumbuh dikarenakan adanya cendawan yang menyerap nutrisi disekitar
lingkungan benih, sehingga benih tidak tumbuh dengan baik dikarenakan nutrisi
yang tidak mencukupi untuk pertumbuhan. Selain itu, cendawan patogen yang tidak
tumbuh pada ulangan 1 dan 3 dapat dikarenakan tidak tersedianya nutrisi di lingkungan
benih tersebut. Persaingan dalam mendapatkan nutrisi dapat sja terjadi dalam
kondisi cekaman nutrisi. Benih akan lebih aktif menyerap nutrisi jika dalam
cekaman nutrisi. Sehingga tidak semua jenis cendawan dapat tumbuh dikarenakan
minimnya ketersediaan nutrisi.
Adapun beberapa hal yang harus
diperhatikan untuk menghindari pertumbuhan cendawan patogen, yaitu 1). Tingkat
aseptis dalam perlakuan, 2). Kelembaban dalam kondisi lingkungan, dan 3),
ketersediaan nutrisi (Okuda et al.,
2000). Dari ketiga hal tersebut, dua diantaranya merupakan kondisi yang
mendukung pertumbuhan cendawan patogen, yaitu kelembaban dalam kondisi
lingkungan dan ketersediaan nutrisi. Dan satu diantaranya merupakan kondisi
yang tidak mendukung pertumbuhan cendawan patogen, yaitu tingkat aseptis.
Ketiga hal tersebut menjadi sebuah acuan yang logis dalam hal melakukan
analasis di laboratorium. Jika ingin terhindar dari infeksi cendawan patogen,
maka perlakuan yang dilakukan harus benar-benar aseptis.
KESIMPULAN
- Jamur yang terdeteksi pada benih cabe dengan metode blotter adalah Aspergillus sp. , dengan metode PDA adalah Aspergillus sp. dan Colletotrichum sp.
- Persentase biji terinfeksi yang paling besar adalah pada ulangan 2 dan 4 (uji blotter), yaitu 2% dan 4 % dengan jenis patogen yang sama, Aspergillus sp.
- Persentase biji terinfeksi pada uji PDA adalah 22.2% (ulangan 1) dan 11.11% (ulangan 2,3, dan 4) dengan jenis patogen yang sama, Aspergillus sp.
- Tiga hal yang mempengaruhi pertumbuhan cendawan patogen, yaitu 1). Tingkat aseptis perlakuan, 2). Kelembaban, dan 3). Ketersediaan nutrisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik.