"salah satu amal yang tidak akan putus pahalanya meski manusia telah meninggal dunia adalah ilmu yang bermanfaat"

PENYADAPAN TANAMAN KARET

Pesatnya pertumbuhan ekonomi dunia pada sepuluh tahun terakhir di kawasan Asia-Pasifik dan Amerika Latin memberi dampak pertumbuhan permintaan karet alam yang cukup tinggi. Hasil studi REP (Rubber Eco Project) tahun 2004 meyatakan bahwa (Anwar, 2001) permintaan karet alam dan sintetik dunia pada tahun 2035 adalah sebesar 31.3 juta ton untuk industri ban dan non ban, dan 15 juta ton diantaranya adalah karet alam.Indonesia diketahui memiliki lahan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan karet alam ini.
Di samping potensi pasarlateks yang besar, harga jual juga mendorong pemerintah dan swasta semakin gencar mengupayakan berbagai cara untuk peningkatan produksinya.Upaya peningkatan produksi ini dilakukan melalui berbaikan manajemen dan teknologi budidaya, yaitu termasuk di dalamnya cara-cara penyadapan.
Dengan pengelolaan yang memenuhi seluruh kriteria teknis produksi, maka estimasi produksi dapat dioptimalkan dengan mengacu pada standar produksi yang dikeluarkan oleh Dinas Perkebunan setempat atau Balai Penelitian Perkebunan terkait.

PRODUKTIVITAS TANAMAN KELAPA

Luas pertanaman kelapa di Indonesia telah mencapai 3,76 juta ha. Namun demikian pada tahun 2011, terjadi penurunan area perkebunan kelapa Dalam yang berpengaruh terhadap produksi secara umum. Kecenderungan terjadinya eksploitasi monopsonistik oleh perusahaan inti terhadap petani plasma merupakan salah satu penyebab penurunan areal pertanaman tersebut. Hal lain yang menjadi factor penyebab permasalahn tersebut adalah kurangnya pengetahuan akan teknologi penerapan budidaya kelapa dikalangan petani. Oleh karena itu, untuk meningkatkan produktivitas kelapa dan pendapatan petani, kelapa tua perlu diremajakan, kelapa yang relative muda direhabilitasi dan perlu adanya penerpan teknologi tepat guna dalam budiaya tanaman kelapa, serta utamanya diperlukan pengkajian mengenai penaksiran produktivitas kelapa di suatu daerah dalam satu satuan luas lahan per satu satuan waktu. Sehingga dapat dilakukan upaya teknis lanjutan untuk peningkatan produktivitas kelapa tanpa hambatan yang berarti.
Tanaman kelapa dibagi menjadi dua jenis berdasarkan umur dan sifat lainnya, yaitu kelapa Dalam dan kelapa Genjah. Tanaman kelapa Dalam memiliki batang besar dan pada bagian bawahnya membesar yang biasa disebut bole. Tinggi tanaman dapat mencapai 30 m, dan umur produksi 70-90 tahun setelah tanam. Tanaman kelapa Genjah memiliki karakter sebaliknya, yaitu berbatang ramping, tidak membentuk bole, dan berbuah lebih cepat 3-4 tahun setelat tanam. Hibridisasi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan produksi kelapa. Tahapan pada proses hibridisasi meliputi penyediaan serbuk sari, emaskulasi, dan polinasi/ penyerbukan. Persilangan secara alami dilakukan oleh serangga atau angin, sedangkan persilangan buatan dilakukan dengan menghembuskan serbuk sari pada bunga betina yang sedang reseptif. Pada persilangan buatan, serbuk sari tidak semuanya habis dipakai dalam satu hari persilangan, bergantung pada jumlah bunga betina yang sudah siap untuk diserbuki, sehingga serbuk sari perlu disimpan. Proses penyimpanan serbuk sari akan mempengaruhi viabilitasnya (Randriani dan Saefudin, 1993).
Keberhasilan Filipina dalam industrialisasi kelapa dapat tercapai dengan cara meningkatkan produk tradisional dan nontradisional. Produk kelapa tradisional yang dihasilkan adalaha kelapa segar, kopra, minyak kelapa, bungkil kopra, kelapa parut kering, arang tempurung, karbon aktif, roated coconut, fatty alcohol, coconut acid oil, sedangkan produk nontradisional meliputi coconut cream powder, hydrogenated cocfo oil, paring oil, crude glycerine, coco chemical, alkanolamide, dan coco shel flour. Diversifikasi produk kelapa dalam skala industry ini belum sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Adanya potensi bahan baku yang cukup besar dan teknologi pengelolaan produk kelapa yang makin dikuasai member peluang bagi diversifikasi produk melalui proses agroindustri (Wirakartakusumah et al., 1993).
Tanaman kelapa dikenal sebagai pohon yang mempunyai banyak kegunaan, mulai dari akar sampai pada ujungnya (daun), dari produk non-kuliner maupun kuliner/makanan, dan juga produk industri sampai produk obat-obatan. Bagi banyak negara di dunia,tanaman ini disebut sebagai "Pohon Kehidupan". Tinggi pohon kelapa dapat mencapai 15 sampai 30 meter di daerah perkebunan. Batang pohon di lingkari dengan parutan/ goretan bekas daun-daun tua yang sudah rontok. Bagian paling atas dari batang di mahkotai dengan daun-daun berbentuk bunga mawar. Buah kelapa berbentuk lonjong dan dilapisi oleh kulit yang licin yang berwarna hijau terang, jingga cerah atau warna-warna gading. Di bawah lapisan kulit terdapat lapisan serat tebal yang digunakan untuk sabut. Lapisan berikutnya adalah tempurung dari biji yang mempunyai tiga karakteristik 'mata'. Tempurung dapat digunakan untuk membuat arang dan alat-alat makan. Bagian dalam dari tempurung dilapisi oleh lapisan putih yang dapat dimakan, yang disebut daging atau kopra.Daging buah ini juga dibuat menjadi produk kimia, industri dan obat-obatan. Cairan di dalam lubang biji kelapa disebut air kelapa. Ketika biji berkecambah, batang baru akan muncul dari salah satu mata tempurung. Kelapa adalah satu-satunya spesies pada jenis Cocos. Kelapa tidak berbahaya bagi kesehatan, tapi penggunaan minyak kelapa secara terus-menerus dengan jumlah yang besar tidak disarankan karena minyak ini mengandung lemak jenuh yang berhubungan dengan penyakit jantung. Sabun yang terbuat dari bahan kelapa dapat menyebabkan iritasi pada kulit pada orang yang sensitif terhadap bahan ini (Anonim, 2009).
Salah satu usaha untuk meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan usaha tani kelapa yaitu dengan menanm tanaman sela. Penanaman tanaman sela di antara kelapa berpengaruh positif terhadap tata kehidupan mikroorganisme tanah serta pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman kelapa. Kaat dan Darwis (1989) mengemukakan bahwa kehadiran tanaman sela berpengaruh terhadap penambahan jumlah bunga betina dan jumlah buah kelapa tiap pohon.
Tingkat naungan atau intensitas sinar matahari di bawah tajuk kelapa berbeda sesuai dengan perkembangan umur dan jenis tanaman kelapa. Sejak tanaman kelapa ditanam sampai umur 8 tahun, jumlah radiasi yang sampai di bawah tajuk masih cukup besar. Memasuki umur 8-10 tahun, jumlah radiasi menurun, dan radiasi terendah terjadi pada saat tanaman kelapa berumur 10-25 tahun (+ 20%), kemudian berangsur-angsur bertambah sampai tanaman berumur 40 tahun (+ 50%). Setelah periode ini, radiasi matahari yang sampai di bawah tajuk kelapa kembai tinggi karena tajuk kelapa mulai mengecil, sehingga memungkinkan cahaya matahari lebih leluasa menembus tajuk kelapa sampai ke permukaan tanah (Nelliat et al., 1974).
Tanaman kelapa tidak luput dari serangan hama yang dapat menurunkan produksi. Hama penting yang menyerang tanaman kelapa meliputi 19 jenis serangga, 6 jenis vertebrata, dan satu jenis nematoda. Dari 19 jenis serangga tersebut, Setora nitens Walker, Parasa lepida Crammer, Hidari irava, Chalcocelis albiguttata, Brontispa longissima, Oryctes rhinoceros, dan Valanga sp. merupakan hama pemakan daun kelapa. Serangan hama pemakan daun berpengaruh terhadap menurunnya hasil buah kelapa. Jika terdapat hama pemakan daun 18 ekor setiap pelepah, maka 10% anak daun akan dikonsumsi hama tersebut. Akibatnya produksi buah menurun 1%. Hilangnya anak daun akibat dikonsumsi oleh serangga tersebut menimbulkan hubungan yang positif terhadap turunnya produksi buah (Ruskandi dan Odih, 2004).


DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2009. Tanaman Kelapa: Pohon Kehidupan. <http://coconutmic.com/id/produksi/pohon-kehidupan>. Diakses pada tanggal 14 Maret 2012.

Kaat, H. dan S. N. Darwis. 1989. Pengaruh tanaman sela terhadap produksi kelapa. Jurnal Penelitian Kelapa. Hal (1): 34-36.

Nelliat, E. V., Bavappa, and P. K. R. Nair. 1974. Multi Stroeyed Cropping. New Dimension of Multiple Cropping in Coconut Plantation. WorldCrops 26: 262-266.

Randriani, E. dan Saefudin. 1993. Persilangan buatan pada kelapa. Kumpulan Makalah Seminar Ilmiah tahun 1992/ 1993. Sub Balai Penelitian Kelapa Pakuwon. Hal: 2-3.

Ruskandi dan Odih S. 2004. Teknik pengendalian hama pemakan daun kelapa melalui infus akar. Buletin Teknik Pertanian. Vol. 9 No. 2.

Wirakartakusumah, M.A., T. R. Muchtadi, A. M. Syarif, Rokhani, Sugiyono, dan S. Ketaren. 1993. Agroindustri kelapa Dalam Prosiding Konferensi Nasional Kelapa III, Buku III. Seri Pengembangan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Indsutri, Bogor. No. 25: 205-220.

KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN KELAPA KULON PROGO

Tanaman perkebunan (kelapa dan kelapa sawit) tumbuh baik pada gambut dangkal sampai gambut dalam (1-3 m). Ketebalan gambut lebih dari 3 m tidak disarankan untuk pertanian, dan lebih sesuai untuk kawasan hutan lindung atau konservasi. Pengembangan tanaman kelapa terutama kelapa hubrida di lahan gambut pasang surut banyak dilakukan di Propinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan (Mahmud dan Allolerung, 1998).
Kelapa mempunyai persyaratan tumbuh dengan selang sifat yang relative lebar, sehingga dapat tumbuh baik didataran rendah maupun tinggi, dengan iklim basah (Sumatera, Jawa, dan Kalimantan) maupun iklim kering (Sulawesi dan Nusa Tenggara). Dalam criteria kesesuaian lahan (Djaenudin et al., 2000) dinyatakan bahwa kelapa dapat tumbuh pada daerah dengan temperature tahunan rata-rata 20-350 C dengan suhu optimal 25-280 C, dan curah hujan 1.000-5.000 mm/tahun atau paling sesuai 2.000-3.000 mm/tahun. Meskipun demikian, pada umumnya tanaman kelapa (terutama kelapa hibrida) tidak dapat betahan apabila bulan kering lebih dari 6 bulan (Abdurachman dan Mulyani, 2003).
Pohon kelapa dapat hidup pada berbagai macam jenis tanah, asalkan jenis-jenis tanah itu memiliki susunan physis yang baik. Susunan physis yang baik itu menjamin peresapan air dan peredaran udara yang sempurna di dalam tanah. Permukaan air tanah letaknya cukup dalam, setidaknya 1 meter dari permukaan tanah, dan air tanah itu hendaknya selalu dalam keadaan bergerak, karena pohon kelapa itu untuk pertumbuhannya yang sempurna memerlukan air banyak. Syarat penting yang dikehendaki terhadap tanah itu ialah kemampuannya yang cukup besar untuk menahan air, supaya tidak cepat merembas ke bagian dalam tanah. Pohon kelapa yang tumbuh di tempat -tempat yang berdekatan dengan air yang bergerak, misalnya di tepi-tepi sungai, di tepi-tepi galangan sawah, di dekat pantai, dsb. biasanya keadaan tumbuhnya baik sekali, karena air yang selalu dalam keadaan bergerak itu banyak mengandung zat asam (O2). Sebaliknya, pohon kelapa yang hidup di tepi-tepi rawa atau di tepi-tepi pantai yang berlumpur, tumbuhnya tetap kerdil. Pohon kelapa yang tumbuh di dataran rendah mempunyai potensi produksi yang tinggi. Di dataran tinggi, tumbuhnya lambat, karena itu mulainya berbuah dan berproduksi juga lambat, sedangkan penghasilan buah dari tiap batang juga tidak banyak. Kadang-kadang buahnya berukuran kecil pula. Tanah humus dan juga tanah gambut baik sekali untuk perkebunan kelapa; kalau menggunaan tanah gambut, drainasenya harus diatur dengan sempurna. Pada tanah-tanah tersebut pohon kelapa itu mudah tumbang, disebabkan karena susunan tanah kurang padat. Di pantai-pantai yang tanahnya terdiri dari lapisan pasir yang steril, sering kali pohon kelapa itu menunjukkan pertumbuhan yang baik. Ini disebabkan karena air tanah yang bergerak di bawah lapisan pasir itu mengandung unsur-unsur zat makanan tanaman yang cukup banyak. Pohon kelapa juga dapat tumbuh subur di pulau-pulau karang, kalau tanah itu banyak mengandung humus (Soetedjo, 1969).
Di Indonesia pada umumnya pertanaman kelapa terdapat pada ketinggian di bawah 500 m. Namun memang ada beberapa pengecualian, pada lokasi tertentu di daerah pegunungan Sumatera, Jawa dan Sulawesi Utara masih dijumpai pertanaman kelapa pada ketinggian 900 m atau lebih dari permukaan laut. Di daerah Minahasa (Sulawesi Utara) dijumpai kelapa yang tumbuh pada ketinggian 1.100 m. Pertumbuhan vegetatif kelihatan masih baik, pembentukan buah masih terjadi namun kecil-kecil dan tidak mempunyai daging buah. Perbedaan tinggi tempat dari permukaan laut, menyebabkan perbedaan temperatur. makin tinggi tempat, makin rendah temperatur. Dan sebenarnya faktor temperatur inilah yang terutama mempengaruhi pertumbuhan kelapa. Penurunan temperatur pada umumnya adalah sekitar 0.6o C setiap penambahan ketinggian 100 m. Walaupun hal ini tergantung pada beberapa faktor seperti musim, waktu, kandungan uap air di udara dan lain-lain. Tanaman kelapa tidak bisa tumbuh baik di daerah tinggi, karena temperatur yang rendah di tempat tersebut (Darwis, 1986).
Hasil penilaian kesesuaian lahan dibedakan menjadi lahan yang sesuai untuk intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi. Apabila wilayah yang dievaluasi tersebut telah digunakan untuk tanaman kelapa, maka arahan pengembangan lebih ditujukan untuk intensifikasi. Lahan untuk intensifikasi yang berpotensi tinggi hanya seluas 427.500 ha, sedangkan seluruh wilayah yang berpotensi (potensi tinggi, sedang, dan rendah) mencapai 872.900 ha, lebih kecil dari luas total lahan tanaman kelapa saat ini 3.759.397 ha. Hal ini terjadi karena lahan yang intensig ditanami kelapa belum seluruhnya terpetakan dalam peta penggunaan lahan, terutama untuk perkebunan rakyat yang umumnya berupa kebun campuran yag sulit untuk dibatasi/ didelineasi di peta. Peta penyebaran lahan yang sesuai untuk intensifikasi, ekstensifikasi maupun diversifikasi di masing-masing propinsi tersedia di Puslitbangtanak (Abdurachman et al., 1998). Hasil penilaian berupa kelas dan subkelas kesesuaian lahan dari tanaman yang dinilai ditentukan oleh faktor pembatas terberat. Faktor pembatas tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih tergantung dari karakteristik lahannya (Ritung dkk., 2007).
Untuk Kabupaten Kulon Progo, kesesuaian lahan S1 untuk tanaman kelapa dan pisang ditemukan di wilayah Kecamatan Temon, yaitu Desa Kulur, Kedungdandang, Demen, Kaligintung, Temonwetan, Temonkulon, Kebonrejo, Janten, Karangwuluh, Sindutan, Jangkaran, Palihan, Glagah, dan Plumbon, dengan factor pembatas kesuburan lahan, sehingga perlu ditambahkan pupuk N, K, dan pupuk organik. Sarana pengembagnan komoditas yang utama di daerah ini adalah tenaga kerja produktif usia 15-54 tahun yang rata-rata 4 orang/Ha (BPTP Yogyakarta, 2005).

 
DAFTAR PUSTAKA


Abdurachman, A. dan Anny Mulyani. 2003. Pemanfaatan lahan berpotensi untuk pengembangan produksi kelapa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Jurnal Litbang Pertanian, Vol. 22(1): 24-30.

Abdurachman, A., A. Mulyani, dan K. Gandasasmita. 1998. Kesesuaian lahan untuk pengembangan beberapa tanaman perkebunan di Indonesia dalam Prosiding Pertemuan Komisi Penelitian Pertanian Bidang Perkebunan. Peremajaan, Rehabilitasi, dan Perluasan Tanaman Perkebunan: Kelapa, Kelapa Sawit, Karet, Kopi, Kakao, Teh, Lada, Pala, Jambu Mete. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan, Bogor. hlm. 20-41.


Darwis.1086. Tanaman Kelapa dan Lingkungan Pertumbuhannya. Balai Penelitian Kelapa, Manado.

Djaenudin, D., M. Henrisman, Subagyo, A. Mulyani, dan. Suharta. 2000. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Beberapa Komoditas Pertanian. Versi 2, 2000. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Mahmud, Z. dan D. Allolerung. 1988. Teknologi peremajaan, rehabilitas, dan perluasan tanaman kelapa dalam Prosiding Pertemuan Komisi Penelitian Pertanian Bidang Perkebunan. Peremajaan, Rehabilitasi, dan Perluasan Tanaman Perkebunan: Kelapa, Kelapa Sawit, Karet, Kopi, Kakao, Teh, Lada, Pala, Jambu Mete. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan, Bogor. hlm. 116-130.

Ritung S, Wahyunto, Agus F, Hidayat H. 2007. Panduan Evaluasi Kesesuaian Lahan dengan Contoh Peta Arahan Penggunaan Lahan Kabupaten Aceh Barat. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia.

Soetedjo, R. 1969. Ilmu Bercocok Tanam Kelapa. Penerbit C. V. Yasaguna, Jakarta.

Budidaya Tanaman Pala

Pala (Myristica fragrans Houtt) adalah anggota dari genus Myristica yang merupakan tanaman rempah tropik asli Indonesia dari kepulauan Banda dan Maluku. Rumphius (1743) menyatakan bahwa dunia mengenal Maluku dari hasil pala dan cengkeh.
Dahulu, pala merupakan salah satu tanaman rempah yang menjadi rebutan bangsa-bangsa yang datang ke Indonesia seperti Portugis pada tahun 1511. Biji dan kulitnya dibawa ke Eropa dan dijual dengan harga yang sangat mahal. Harga yang tinggi ini merupakan perangsang bagi bangsa-bangsa lain untuk datang ke Indonesia.
Pada zaman V.O.C, sistem tataniaga pala dan cengkeh telah tertata dengan baik, sehingga pala bisa memberikan kontribusi terhadap pendapatan yang signifikan bagi negeri Belanda. Kemudian pada tahun 1748 tanaman ini dikembangkan ke daerah Minahasa dan Kepulauan Sanger Talaud, Sumatra Barat dan Bengkulu, kemudian menyusul di Jawa, Aceh dan Lampung. Pada jaman kekuasaan Inggris, tanaman ini disebarkan pada beberapa daerah jajahan tetapi tidak berhasil baik, di Malaya dikalahkan oleh karet, di pulau kecil India Barat (Grenada) dapat berhasil baik sehingga daerah ini menjadi saingan Indonesia dalam ekspor pala di dunia.
Hingga saat ini, pala tetap menjadi primadona karena nilai ekonominya. Nilai ekonomi bahan baku kering pala di pasaran saat ini sekitar Rp52.500,00/kg sedangkan minyak atsirinya (Nutmeg Oil) Rp570.000/kg (Rusli, 2010). Dari satu pohon pala yang berumur sekitar 25-50 tahun akan menghasilkan 160 kg buah pala, yang terdiri dari daging buah, biji pala (22,5 kg) dan fuli (3 kg). Menurut Marzuki (2007) bila dari minyak buah pala diproses kimia lebih lanjut, akan dihasilkan lemak/mentega (8,05%), 16 komponen terpenoid (73,91%) dan 8 komponen aromatic (18,04%). Komponen utama dari senyawa aromatik tersebut adalah Miristin.
Seluruh bagian tanaman pala dapat bernilai ekonomi. Sebagaimana tanaman rempah lainnya, selain sebagai bumbu masak pala juga dapat menghasilkan minyak atsiri dan lemak dari biji dan fulinya. Minyak atsiri tersebut merupakan flavor dalam industri rokok, sabun, parfum, obat-obatan dan makanan. Manfaat lain tanaman pala adalah sebagai berikut:
  1. Kulit batang dan daun. Batang/kayu pohon pala yang disebut dengan “kino” dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Kulit batang dan daun tanaman pala menghasilkan minyak atsiri dalam konsentrasi yang sedikit.
  2. Fuli. Fuli atau kulit biji adalah selaput jala berbentuk seperti anyaman yang menutup biji buah pala, atau disebut juga “bunga pala”. Bunga pala ini dalam bentuk kering banyak dijual di dalam negeri.
  3. Biji pala. Biji pala sangat baik untuk obat pencernaan yang terganggu, seperti obat muntah-muntah.
  4. Daging buah pala. Daging buah pala sangat baik dan sangat digemari oleh masyarakat jika telah diproses menjadi makanan ringan, misalnya: asinan pala, manisan pala, marmelade, selai pala, kristal daging buah pala.
Bentuk komoditas pala yang diekspor oleh Indonesia adalah dalam bentuk biji, fuli dan pala glondong. Oleoresin pala umumnya diproduksi oleh negara-negara pengimpor biji pala seperti singapura, Amerika serikat, dan negara-negara di Eropa Barat. Ekspor komoditas pala dalam bentuk oleoresin memang sangat menguntungkan oleh karena handiling-cost-nya rendah, mudah dilakukan standarisasi mutu karena dihasilkan oleh industri dan daya simpannya lebih lama. Pengolahan lebih lanjut dari biji dan fuli pala menjadi oleoresin ini di daam negeri juga akan meningaktkan nilai tambah produk dan memperluas lapangan kerja.
Lebih dari 60 % kebutuhan pala dunia diekspor dari Indonesia. Akan tetapi, secara keseluruhan mutu pala Indonesia masih kalah dibanding mutu pala dari negara lainnya. Rendahnya mutu pala tersebut disebabkan oleh banyak faktor antara lain tanaman yang sedang berproduksi makin hari makin tua, pemeliharaan praktis jarang dilakukan, sebagian tanaman tua/ tidak produktif dan belum mengguanakan bibit unggul, kelembagaan petani lemah dan mutu produksi satuan petani masih rendah. Untuk dapat bersiang di pasar dunia, sangat dibutuhkan peningakatan produkitivitas dan mutu produk yang memenuhi standar pasar internasional.
Pertanian pala baik di masyarakat maupun perusahaan perkebunan, merupakan hasil perbanyakan asal biji (generatif) sehingga masalah sex ratio tidak dapat diatur dari awal pertanaman dan bibit yang digunakan adalah asalan, dengan produktivitas rendah yaitu kurang dari 1500–3000 butir/pohon/tahun (Hadad, 1992). Pemakaian bibit unggul pala klonal (vegetatif) diperlukan pada program pengembangan pala ke depan sehingga masalah sex ratio dapat teratasi dan produksi serta mutu dapat lebih meningkat.
Berdasarkan kondisi pala saat ini, Pemerintah seharusnya segera melakukan perbaikan dengan mengacu teknologi budidaya yang telah tersedia. Teknologi yang tersedia dari hasil penelitian, antara lain teknologi perbanyakan bibit pala unggul klonal (vegetatif), pengolahan biji pala dan fuli menjadi minyak atsiri, teknologi pengolahan minyak atsiri menjadi diversifikasi produk ikutan dan teknologi pengolahan daging buah pala menjadi berbagai macam makanan ringan.
Strategi pengembangan pala ke depan menurut Susanto dan Bustaman (2006) dapat dilakukan melalui pendekatan ekstensifikasi, intensifikasi, rehabilitasi dan peremajaan dengan bibit unggul klonal. Pengembangan pala selain pada areal bukaan baru, juga dilakukan pada existing perkebunan kelapa sebagai tanaman sela seperti di Kabupaten Maluku Tenggara Barat (Damer, Romang dan Tepa), Maluku Tenggara, Maluku Tengah, Buru, Aru (P.Wokam), Seram Bagian Barat, dan Seram Bagian Timur.

  1. PERSIAPAN LAHAN
Tanaman pala membutuhkan lahan pada ketinggian 500-700 m dpl yang beriklim panas (18-340 C) dengan curah hujan tinggi (2.000-3.000 mm/th) dan merata sepanjang tahun (Rusli, 2010). Namun, meski membutuhkan curah hujan tinggi pala ini dapat bertahan dalam musim kering selama beberapa bulan.
Untuk kriteria utama jenis tanah yang dibutuhkan adalah yang gembur, subur, dan mempunyai drainase yang baik seperti tanah vulkanis. Pertumbuhan tanaman optimal diperoleh pada tanah bertekstur pasir sampai lempung dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Adapun pH tanah yang cocok untuk tanaman pala adalah 5,5-6,5.
Jika diperlukan pembukaan lahan maka sebaiknya pembabatan semak belukar dan penebangan pohon-pohon dilakukan pada musim kemarau untuk mencegah semak belukar tumbuh kembali dengan cepat pada musim hujan.
Tanaman ini peka terhadap genangan air, sehingga diperlukan adanya sistem drainase yang baik di lahan. Untuk itu, sebelum tanam perlu dilakukan pengolahan tanah dengan penggemburan, pembersihan akar dan sisa-sisa tanaman, serta pembuatan teras-terus untuk mencegah terjadinya erosi pada areal yang miring.

  1. PERSIAPAN BAHAN TANAM
Dalam mempersiapkan bahan tanam, aspek yang perlu diperhatikan adalah pemilihan spesies dan varietas yang sesuai, serta pemilihan klon yang unggul dan bermutu. Ada sekitar 85 spesies pala yang dapat dipilih sebagai bahan tanam. Di antara spesies tersebut yang banyak dibudidayakan dan bernilai ekonomi adalah Myristica fragrans Houtt., Myristica argentea Ware., Myristica fattua Houtt., dan Myristica sucedona BL.
Setelah ditentukan jenis yang akan dibudidayakan, maka kemudian perbanyakan dapat dilakukan dengan cara generatif ataupun vegetatif. Perbanyakan generatif yaitu dengan biji, sedangkan secara vegetatif dapat melalui cangkok maupun okulasi.
Perbanyakan tanaman dengan biji tampaknya kurang efektif karena meskipun ada 5% yang berjenis kelamin ganda, namun sejatinya tanaman pala memiliki jenis kelamin tunggal (monoecious). Pembuahan biasanya menghasilkan 40% biji calon pohon jantan yang tidak dapat berbuah. Bila harus dengan cara ini, maka upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memilih pohon induk yang baik dan dekat dengan pohon jantan, kemudian buah yang telah masak penuh (besar, bulat dan simetris) paling lambat 24 jam setelah pemetikan langsung disemaikan. Selain itu jika tanaman sudah terlanjur dewasa, bisa juga dilakukan penyambungan (grafting) tanaman jantan dengan tanaman betina untuk menghasilkan tanaman yang mampu berproduksi.
Berdasarkan Surat keputusan Direktur Jenderal Perkebunan KB.010/42/SK/DJ. BUN/9/1984, telah ditetapkan dan dipilih pohon induk yang dapat dipergunakan sebagai sumber benih yang tersebar di 4 propinsi, yaitu: Sumatra Barat, Jawa Barat, Sulawesi Utara, dan Maluku. Biji-biji dari pohon induk terpilih tersebut harus diseleksi, yaitu dipilih yang agak bulat dan simetris, kulit biji berwarna coklat kehitam-hitaman dan mengkilat, serta tidak terserang oleh hama maupun penyakit.
Biji-biji pala yang akan ditanam di lahan harus terlebih dahulu dikecambahkan di persemaian berupa tanah olah dan pupuk kandang dengan bedengan. Bedengan dibuat membujur utara-selatan, dan di sekelilingnya dibuka selokan kecil yang berfungsi sebagai saluran drainase. Bedengan tersebut diberi peneduh dari anyaman daun kelapa/ jerami setinggi 2 m (timur) dan 1 m (barat), agar persemaian hanya terkena sinar matahari pada pagi sampai menjelang siang. Jarak persemaian antar biji adalah 15 x 15 cm dengan posisi garis putih pada kulit biji terletak di bawah. Pemeliharaan persemaian terutama dengan menjaga tanah bedengan agar tetap basah dan bersih dari gulma.
Setelah berkecambah, maka bibit dapat dipindahkan ke dalam polibag berisi media tanah gembur yang subur yang dicampur dengan pupuk kandang. Polibag yang sudah berisi bibit tanaman harus diletakkan pada tempat yang terlindung dari sinar matahari. Pemeliharaan dalam polibag adalah menjaga agar media tumbuhnya tetap basah, tidak tergenang, dan bersih dari gulma. Agar tidak tergenang, bagian bawah polibag diberi lubang untuk jalan keluar air siraman/ air hujan. Pemupukan dengan TSP dan urea masing-masing sekitar 1 gram pada awal musim hujan dan 1 gram pada akhir musim hujan. Setelah bibit tanaman mempunyai 3-5 batang cabang, maka bibit ini dapat dipindahkan ke lapangan.
Perbanyakan secara klonal (vegetatif) lebih diutamakan karena lebih mudah, cepat, dan tanaman baru pun memiliki sifat-sifat seperti induknya sehingga keseragaman tanaman dapat dikendalikan. Perbanyakan secara klonal dapat dilakukan dengan cangkok ataupun okulasi (tempelan).
Untuk perbanyakan dengan cangkok sebagaimana cara pencangkokan biasa, hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: dalam memilih cabang yang akan dicangkok harus berasal dari pohon induk yang pertumbuhannya baik, rimbun, bebas dari hama dan penyakit, serta produktif; umur pohon induk berkisar antara 12 -15 th; cabang yang akan dicangkok sudah berkayu tetapi tidak terlalu tua atau terlalu muda; waktu pencangkokan pada musim hujan atau pada musim kemarau dengan penyiraman teratur; jika pencangkokan dengan pembalut plastik maka bagian atas dan bawah harus biberi lubang kecil untuk saluran penyiraman dan drainase. Cangkokan siap dipindah tanam setelah satu bulan atau jika akar yang muncul telah berubah warna menjadi cokelat tua.
Cara okulasi atau penempelan atau budding dapat mengurangi persentase pohon jantan yang muncul. Yaitu dengan menggunakan entrys (mata tunas) dari cabang pohon betina yang berproduksi tinggi. Yang perlu diperhatikan untuk melakukan okulasi yaitu: besar calon batang atas dan batang bawah (under stump) tidak jauh berbeda; umur batang bawah minimal 1 tahun; entrys diambil dari cabang yang lurus dari pohon yang telah berproduksi; satu atau dua minggu sebelum pengambilan cabang entrys, sebagian daunnya dipangkas untuk merangsang pertumbuhan mata tunas; pisau okulasi juga harus tajam dan bersih.

  1. PENANAMAN
Penanaman bibit pala dilakukan pada awal musim hujan untuk mencegah agar bibit tidak mati kekeringan.
Bibit tanaman yang berasal dari biji dan sudah mempunyai 3-5 cabang biasanya sudah mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan sehingga pertumbuhannya dapat berlangsung baik. Penanaman dengan biji dilakukan dengan melepas polibag kemudian memasukkan bibit ke dalam lubang tanam (permukaan tanah pada lubang tanam dibuat sedikit lebih rendah dari permukaan lahan kebun). Setelah itu, lubang disiram dengan air supaya media tumbuh mejadi basah.
Penanaman bibit pala dari okulasi dapat dilakukan seperti menanam bibit pala yang berasal dari biji. Sedangkan untuk bibit pala dari cangkokan, sebelum ditanam terlebih dulu dilakukan perompesan daun untuk mencegah penguapan yang terlalu cepat. Lubang tanam perlu dibuat lebih dalam agar setelah dewasa tanaman tidak roboh karena sistem perakaran yang tidak memiliki akar tunggang. Setelah bibit ditanam, lubang tanam harus segera disiram.
Lubang tanam berukuran 60 x 60 x 60 cm (untuk jenis tanah ringan) dan ukuran 80 x 80 x 80 cm (untuk jenis tanah lempung) perlu disiapkan satu bulan sebelum bibit ditanam agar tanah dalam lubang menjadi dayung (tidak asam), terutama jika pembuatannya pada musim hujan. Dalam menggali lubang tanam, lapisan tanah bagian atas harus dipisahkan dengan lapisan tanah bagian bawah, sebab kedua lapisan tanah ini mengandung unsur berbeda. Setelah beberapa waktu, tanah galian bawah dimasukkan lebih dahulu kemudian menyusul tanah galian bagian atas yang dicampur dengan pupuk kandang secukupnya. Jarak tanaman yang baik pada lahan datar adalah 9 x 10 m, sedangkan pada lahan bergelombang adalah 9 x 9 m.

  1. PENGELOLAAN TANAMAN
Pengelolaan tanaman saat belum menghasilkan (TBM) dan saat telah menghasilkan (TM) meliputi penanaman pohon pelindung sebelum pindah tanam; penyulaman jika bibit yang telah dipindah tanam ternyata mati atau abnormal; penyiangan mulai 60-90 HST (hari setelah tanam), pemupukan dengan pupuk organik dan anorganik secara melingkar; serta pengendalian organisme pengganggu terutama gulma, yaitu dengan penggunaan herbisida sesuai dosis anjuran.
Mengenai pohon pelindung, seumur hidupnya tanaman pala membutuhkan pohon pelindung sebagai pemecah angin yang dapat mengganggu penyerbukan, dan juga sebagai pelindung dari sinar matahari yang berlebihan saat tanaman masih muda. Penanaman pelindung di awal tanam penting untuk mencegah pertumbuhan abnormal, yaitu pertumbuhan memanjang ke atas dan tertundanya fase generatif. Setelah berumur 4-5 tahun, tanaman pala sudah membutuhkan sinar matahari lebih banyak untuk dapat berproduksi sehingga penjarangan pohon pelindung harus dilakukan. Penjarangan ini juga penting untuk mencegah terjadinya persaingan di dalam menyerap unsur hara antara tanaman pala dengan tanaman pelindung. Pohon pelindung yang baik adalah pohon yang daunnya tidak terlalu rimbun serta tahan terhadap hempasan angin seperti pohon kelapa, duku, rambutan dan jenis pohon buah-buahan lainnya.
Sedangkan mengenai organisme pengganggu selain gulma yang sering menyerang tanaman pala adalah penggerek batang (Batocera hercules) penyebab lubang dan bubuk batang, kumbang penggerek buah (Areoceum foriculatus), rayap penyebab bercak batang dan akar, dan cendawan Coryneum myristicae penyebab penyakit pecah buah dan bercak buah. Pengendalian penggerek batang dengan pestisida sistemik, penggerek buah dengan menyegerakan pengeringan buah pasca panen, rayap dengan penyemprotan pestisida ke saluran-saluran sarang melalui batang dan akar, sedangkan cendawan dicegah dengan membuat saluran drainase yang baik atau melakukan pengasapan belerang di bawah pohon serta penyemprotan fungisida jika telah terserang cukup berat.

  1. PANEN DAN PASCA PANEN
Tanaman pala dapat dipanen mulai umur 3-5 tahun hingga umur 60-70 tahun dan produksinya optimal pada umur 10-25 tahun (tergantung jenisnya). Periode panennya dua kali dalam setahun karena masa pematangan buahnya adalah selama ±180 HSA (hari setelah anthesis).
Untuk menghasilkan minyak atsiri, buah dipanen setelah merekah berwarna cokelat tertutup fuli. Setelah dipanen, daging buah dengan bijinya dipisahkan dan diambil daging buahnya. Daging buah tersebut kemudian dikeringanginkan dengan menjaga suhunya tidak lebih dari 45 derajat celcius agar lemaknya tidak mencair. Minyak lemak pala (fixed oil) sebanyak 25 - 40 % dipisahkan terlebih dahulu sebelum disuling dengan cara menggiling dan memeras biji dengan grinder. Setelah biji pala digiling kemudian disuling dalam ketel suling selama ±10-30 jam. Rendemen minyak yang diperoleh berkisar antara 7-16 %. Minyak pala ini biasanya diekspor ke Singapura, Perancis, Inggris, Nederland dan Amerika Serikat.




DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. <http://www.bakorluh-maluku.com/ /2011/Teknik%20Budidaya%20Pala.pdf.>. Diakses pada tanggal 18 Maret 2012.

Anonim. 2009. <http://ditjenbun.deptan.go.id/pedoman-praktis-budidaya-pala->. Diakses pada tanggal 18 Maret 2012.

Marks, S. and Pomeroy J. 1995. International trade in nutmeg and mace: issues andptions for Indonesia. Bull. Indo Economic Studies 3:103-118.

Marzuki, I. 2007. Karakteristik produksi, proksimat atsiri pala Banda. Makalah Pada Seminar Nasional Akselerasi Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Mendukung Ketahanan Pangan di Wilayah Kepulauan. BPTP Maluku 29-30 Oktober 2007.

Ojechi, B.O., Souzey J.A., and Akpomedaye D.E. 1998. Microbial stability of mango (Mangifera indica L.) juice preserved by combined application of mild heat and extracts of two tropical spices. J. Food Protection 6:725-727.

Purseglove, J.W., E.G. Brown, S.L. Green, and S.R.J. Robbins. 1995. Spices. Longmans, New York.

Rusli, Meika Syahbana. 2010. Sukses Memproduksi Minyak Atsiri. PT Agromedia Pustaka, Jakarta.

Stecchini, M.L., Sarais I., and Giavedoni P. 1993. Effect of essential oils on Aeromonas hydrophyla in a culture medium and in cooked pork. J. Food Protection 5: 406- 409.

Sunanto, Hatta. Budidaya Pala Komoditas Ekspor. Kanisius, Yogyakarta.

Susanto, A.N. dan S. Bustaman. 2006. Data dan Informasi Sumberdaya Lahan Untuk Mendukung Pengembangan Agribisnis Di Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku. Penerbit BPTP Maluku.

MEMPELAJARI PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 01/Pert/SR.120/2/2006 TENTANG SYARAT PENAMAAN DAN TATA CARA PENDAFTARAN VARIETAS TANAMAN

Penetapan praturan menteri pertanian nomor 01/Pert/SR.120/2/2006 ini mempertimbangkan peraturan di atasnya, yaitu Pasal 8, 15, dan 18 Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2004 tentang Penamaan, Pendaftaran dan Penggunaan Varietas Asal Untuk Pembuatan Varietas Turunan Esensial.
Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) adalah perlindungan khusus yang diberikan negara terhadap varietas yang dihasilkan oleh pemulia melalui kegiatan pemuliaan tanaman. Pelaksanaan PVT dilakukan oleh unit/kantor Pusat Perlindungan Varietas Tanaman (PPVT) yang berada di lingkungan Departemen Pertanian.
Varietas (tanaman) adalah sekelompok tanaman dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, biji, dan ekspresi karakteristik genotipe atau kombinasi genotipe yang dapat membedakan dari jenis atau spesies yang sama oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan.
Ada dua macam varietas yang dapat didaftarkan menurut peraturan ini, yaitu:
  1. Varietas lokal: varietas yang telah ada dan dibudidayakan secara turun-temurun oleh petani, serta menjadi milik masyarakat dan dikuasai Negara. Deskripsi varietasnya mencakup sebaran geografis (daerah tempat pertama kali ditemukan dan/atau daerah penyebaran), ciri-ciri morfologi, dan sifat-sifat penting lainnya.
  2. Varietas hasil pemuliaan: varietas yang dihasilkan dari kegiatan pemuliaan tanaman. Deskripsi varietasnya mencakup silsilah, cirri-ciri morfologi, dan sifat-sifat penting lainnya.
Sedangkan dalam pendaftaran varietas hasil pemuliaan tanaman terdapat dua istilah ‘varietas’ yang digunakan, yaitu:
  1. Varietas asal: varietas yang digunakan sebagai bahan dasar untuk pembuatan Varietas Turunan Esensial (NS), meliputi:
    1. varietas yang mendapat PVT
    2. varietas yang tidak mendapat PVT tetapi telah diberi nama dan didaftar oleh pemerintah.
  2. Varietas Turunan Esensial: varietas hasil perakitan dari varietas asal dengan menggunakan seleksi tertentu sedemikian rupa sehingga varietas tersebut mempertahankan ekspresi sifat-sifat esensial dari varietas asalnya tetapi dapat dibedakan secara jelas dengan varietas asalnya dari sifat-sifat yang timbul dari tindakan penurunan itu sendiri.
Penamaan varietas yang (telah) diberi PVT hanya sebagai identitas varietas yang bersangkutan. Sedangkan penamaan varietas yang tidak (belum) diberi PVT (baik varietas lokal maupun hasil pemuliaan) adalah sebagai identitas varietas dan pemenuhan persyaratan untuk memperoleh manfaat ekonomi bagi pemiliknya.
Pendaftaran varietas dilakukan untuk kepentingan:
  1. pendataan Varietas Lokal, Varietas yang dilepas, dan Varietas hasil Pemuliaan yang tidak dilepas
  2. pendataan hubungan hukum antara varietas yang bersangkutan dengan pemiliknya dan/atau penggunanya.
Dalam sistem dokumentasi PVT terdapat istilah Daftar Umum PVT dan Berita Resmi PVT. Daftar Umum PVT adalah daftar catatan resmi dari seluruh tahapan pengelolaan Perlindungan Varietas Tanaman. Sedangkan Berita Resmi PVT adalah media informasi komunikasi resmi dari kegiatan PVT yang diterbitkan secara berkala oleh kantor PVT untuk kepentingan umum.
Peraturan ini ditetapkan dengan maksud sebagai dasar hukum pelaksanaan penamaan dan pendaftaran varietas tanaman. Tujuannya yaitu untuk:
  1. Memberikan identitas kepada varietas tanaman (lokal maupun hasil pemuliaan)
  2. Menetapkan hubungan hukum antara varietas dengan subyeknya

  1. PENAMAAN DAN PENDAFTARAN VARIETAS LOKAL
Pemilihan nama Varietas Lokal harus memenuhi persyaratan sebagaimana dalam pasal 4 ayat 1 dan 2, yaitu:
  1. mencerminkan identitas Varietas Lokal, dan tidak menimbulkan kerancuan
  2. belum digunakan untuk nama varietas, kecuali untuk jenis tanaman yang berbeda
  3. tidak menggunakan:
    • nama orang terkenal (kecuali telah mendapatkan persetujuan dari orang yang bersangkutan)
    • nama alam
    • lambang negara
    • merek dagang yang berupa barang dan jasa hasil propagasi (seperti: benih atau bibit, atau bahan yang dihasilkan dari varietas lain, jasa transportasi atau penyewaan tanaman)
    • kata-kata yang dilarang (terkait bentuk/ proses pemuliaannya): persilangan, hibrida, kelompok, bentuk, mutan, bibit, strain, varietas, atau bentuk jamak dari kata-kata tersebut (seperti: “yang diperbaiki” atau “yang ditransformasi”)
    • nama jenis/ spesies/ nama botani untuk penggunaan kata tunggal
Untuk syarat penulisan nama yaitu (pasal 4 ayat 2):
  1. tidak lebih dari 30 huruf
  2. tidak ditafsirkan memperbesar nilai (misal: terbaik, paling enak, wangi sekali)
  3. tidak menggunakan tanda baca apapun (seperti: titik, titik dua, koma)
Di kemudian hari, nama Varietas Lokal tersebut dapat diajukan sebagai merek dagang varietas yang bersangkutan (pasal 5).
Tata cara pendaftarannya yaitu:
  1. Bupati/Walikota/Gubernur (bertindak mewakili kepentingan masyarakat pemilik Varietas Lokal di wilayahnya) memberikan nama
  2. Bupati/Walikota/Gubernur dapat menunjuk suatu lembaga/institusi atau membentuk suatu tim untuk menyiapkan bahan pemberian nama dan pendaftaran
  3. Lembaga/institusi/tim tersebut melaksanakan tugas: (i) melakukan eksplorasi, (ii) inventarisasi, (iii) karakterisasi, (iv) penilaian, dan (v) penyusunan deskripsi terhadap Varietas Lokal sesuai dengan sebaran geografisnya
  4. Lembaga/institusi/tim tersebut menyampaikan bahan pemberian nama dan pendaftaran Varietas Lokal kepada Bupati/Walikota dan Gubernur untuk memperoleh persetujuan
  5. Bupati/Walikota/Gubernur mengajukan pendaftaran tertulis kepada PPVT (dengan formulir model-1)
  6. PPVT memberikan jawaban tertulis mengenai diterimanya pendaftaran maksimal dalam waktu 30 hari kerja (dengan formulir model-2).
  7. Pendaftaran yang telah lengkap dan memenuhi persyaratan, kemudian oleh PPVT dicatat di dalam Daftar Umum PVT, diumumkan dalam Berita Resmi PVT, dan diberitahukan kepada pendaftar (pasal 10).
Beberapa kendala yang mungkin dapat terjadi dalam pendaftaran varietas lokal telah disebutkan tata cara penanganannya dalam pasal 9:
  1. Jika dalam jangka waktu 30 hari kerja PPVT belum memberikan jawaban, maka pendaftaran dianggap telah diterima
  2. Jika masih ada kekurangan dalam persyaratan nama (Pasal 4) ataupun isi formulir yang diajukan (Pasal 8), maka PPVT memberikan saran perbaikan kepada Bupati/Walikota/Gubernur (dengan formulir model-3)
  3. Jika dalam waktu 3 bulan (dari tanggal saran perbaikan) Bupati/Walikota/Gubernur belum dapat memenuhi kekurangan persyaratan yang diminta, maka pendaftaran dianggap ditarik kembali (dengan formulir model-4)
  4. Jika beberapa kabupaten/kota/provinsi mendaftarkan Varietas Lokal dengan ciri-ciri yang sama, maka PPVT melakukan verifikasi untuk menetapkan status kepemilikan Varietas Lokal tersebut
  5. Jika sebaran geografisnya varietas yang diajukan lintas provinsi, maka PPVT dibantu oleh lembaga/institusi penelitian dan pengembangan komoditas (pemerintah maupun swasta).
  1. PENAMAAN DAN PENDAFTARAN VARIETAS HASIL PEMULIAAN
Pemilihan nama Varietas Lokal harus memenuhi persyaratan sebagaimana dalam pasal 11, hampir sama dengan syarat pemilihan nama varietas lokal, kecuali pada pasal 11 ayat 3 poin c dan g. Syarat penamaan tersebut yaitu:
  1. merupakan identitas varietas tersebut, dan tidak menimbulkan kerancuan
  2. belum digunakan untuk nama varietas, kecuali untuk jenis tanaman yang berbeda
  3. tidak hanya berupa kata deskriptif sederhana (misalnya: merah, panjang) (poin c)
  4. nama yang diusulkan di luar negeri dapat digunakan pada waktu diusulkan di Indonesia, kecuali di Indonesia sudah digunakan untuk jenis/spesies yang sama (poin g)
  5. tidak menggunakan:
    • nama orang terkenal (kecuali telah mendapatkan persetujuan dari orang yang bersangkutan)
    • nama alam
    • lambang negara
    • merek dagang yang berupa barang dan jasa hasil propagasi (seperti: benih atau bibit, atau bahan yang dihasilkan dari varietas lain, jasa transportasi atau penyewaan tanaman)
    • kata-kata yang dilarang (terkait bentuk/ proses pemuliaannya): persilangan, hibrida, kelompok, bentuk, mutan, bibit, strain, varietas, atau bentuk jamak dari kata-kata tersebut (seperti: “yang diperbaiki” atau “yang ditransformasi”)
    • nama jenis/ spesies/ botani untuk penggunaan kata tunggal
Untuk syarat penulisan nama yaitu:
  1. tidak lebih dari 30 huruf
  2. tidak ditafsirkan memperbesar nilai (misal: terbaik, paling enak, wangi sekali)
  3. tidak menggunakan tanda baca apapun (seperti: titik, titik dua, koma)
Di kemudian hari, nama Varietas hasil pemuliaan juga dapat diajukan sebagai merek dagang seperti halnya varietas lokal (pasal 12).
Tata cara pendaftarannya hampir sama dengan tata cara pendaftaran varietas lokal, hanya saja tanpa ada perwakilan lembaga/institusi/tim.
  1. pemilik varietas memberikan nama
  2. pemilik varietas mengajukan pendaftaran tertulis kepada PPVT (dengan formulir model-5)
  3. PPVT memberikan jawaban tertulis mengenai diterimanya pendaftaran maksimal dalam waktu 30 hari kerja (dengan formulir model-6).
  4. Pendaftaran yang telah lengkap dan memenuhi persyaratan, kemudian oleh PPVT dicatat di dalam Daftar Umum PVT, diumumkan dalam Berita Resmi PVT, dan diberitahukan kepada pendaftar (pasal 16).
Beberapa kendala disebutkan dalam pendaftaran varietas hasil pemuliaan sama halnya dengan kendala dalam pendaftaran varietas lokal, namun dalam penanganannya menggunakan model formulir yang berbeda, dan PPVT juga tidak menggunakan bantuan lambaga penelitian dan pengembangan komoditas karena tidak ada informasi sebaran geografis yang dibutuhkan.
  1. Jika dalam jangka waktu 30 hari kerja PPVT belum memberikan jawaban, maka pendaftaran dianggap telah diterima
  2. Jika masih ada kekurangan dalam persyaratan nama (Pasal 4) ataupun isi formulir yang diajukan (Pasal 8), maka PPVT memberikan saran perbaikan kepada pemilik (dengan formulir model-7)
  3. Jika dalam waktu 3 bulan (dari tanggal saran perbaikan) pemilik belum dapat memenuhi kekurangan persyaratan yang diminta, maka pendaftaran dianggap ditarik kembali (dengan formulir model-8)
  4. Jika beberapa kabupaten/kota/provinsi mendaftarkan Varietas Lokal dengan ciri-ciri yang sama, maka PPVT melakukan verifikasi untuk menetapkan status kepemilikan Varietas Lokal tersebut

  1. SISTEM DOKUMENTASI DAN JARINGAN INFORMASI PVT
PPVT menyelenggarakan Sistem Dokumentasi dan Jaringan Informasi PVT untuk kepentingan penamaan dan pendaftaran varietas yang ada di seluruh Indonesia, baik Varietas Lokal maupun Varietas Hasil Pemuliaan yang diberi atau yang tidak diberi PVT. Sistem Dokumentasi dan Jaringan Informasi PVT ini mencakup:
  • data dan informasi Varietas Lokal yang ada di seluruh Indonesia
  • instansi Pemerintah Daerah yang mewakili kepentingan masyarakat pemilik Varietas Lokal dan Varietas Hasil Pemuliaan baik yang diberi atau yang tidak diberi PVT
Data Varietas (varietas Lokal dan Hasil Pemuliaan yang dicatat dalam Daftar Umum PVT serta data varietas dari sumber lainnya) disimpan dan dimutakhirkan dalam Sistem Dokumentasi dan Jaringan Informasi PVT. Pemutakhiran dimaksudkan untuk mengetahui:
  • sebaran geografis dan identitas setiap Varietas Lokal dan masyarakat pemilik Varietas Lokal serta instansi pemerintah yang mewakili kepentingan masyarakat yang bersangkutan
  • identitas setiap Varietas Hasil Pemuliaan yang dimohonkan hak PVT dan/atau yang didaftarkan, serta Varietas Lokal yang didaftar
  • hubungan hukum antara varietas yang didaftar dengan pemilik varietas yang bersangkutan
Varietas yang didaftar dan Varietas Hasil Pemuliaan yang dimohonkan hak PVT dan telah diumumkan dalam Berita Resmi PVT, dapat diakses oleh masyarakat. Setiap orang atau badan hukum yang memerlukan informasi varietas dapat mengakses atau meminta informasi ke PPVT. Sedangkan untuk varietas yang dimohonkan hak PVT namun belum atau tidak diumumkan, PPVT wajib menjaga kerahasiaan datanya.

  1. BIAYA PENAMAAN DAN PENDAFTARAN VARIETAS

Biaya yang diperlukan untuk kegiatan penamaan dan pendaftaran Varietas Lokal, antara lain: (i) biaya eksplorasi, (ii) inventarisasi, (iii) karakterisasi, serta (iv) penilaian dan penyusunan deskripsi varietas.
Untuk keperluan penamaan dan pendaftaran Varietas Lokal dan Varietas Hasil Pemuliaan tidak dikenakan biaya. Biaya-biaya yang diperlukan dibebankan pada anggaran belanja kabupaten/kota, untuk Varietas Lokal yang sebaran geografisnya dalam satu kabupaten/kota, atau kepada anggaran belanja provinsi untuk Varietas Lokal yang sebaran geografisnya dalam satu provinsi. Sedangkan untuk varietas lokal yang sebaran geografisnya lintas provinsi, maka biaya inventarisasi, karakterisasi, penilaian dan penyusunan deskripsi varietas dibebankan pada anggaran belanja PPVT.

  1. PENUTUP

Nama varietas tanaman yang telah dilepas oleh Menteri Pertanian sebelum berlakunya peraturan ini dinyatakan masih tetap berlaku. Namun dengan ditetapkannya Peraturan ini pada 1 Februari 2006 lalu, maka untuk penamaan dalam rangka pelepasan varietas wajib dimintakan persetujuan kepada PPVT.
Salinan Peraturan ini telah disampaikan Kepada: 1. Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia; 2. Menteri Keuangan; 3. Menteri Kehutanan; 4. Menteri Dalam Negeri; 5. Menteri Negara Riset dan Teknologi; 6. Menteri Perdagangan; 7. Menteri Pendidikan Nasional; 8. Menteri Negara Lingkungan Hidup; 9. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; 10. Jaksa Agung Republik Indonesia; 11. Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; 12. Gubernur seluruh Indonesia; serta 13. Bupati/Walikota seluruh Indonesia. Di samping itu, peraturan ini juga telah dapat diakses oleh masyarakat umum melalui situs resmi Departemen Pertanian pada link: http://perundangan.deptan.go.id/admin/p_mentan/Permentan-01-06.pdf.

Mengapa Orang Bilang Tanaman Transgenik Berbahaya?

Tanaman transgenik secara umum bisa jadi berbahaya jika:
  1. Pada saat konstruksi gene menggunakan selectable marker ketahanan antibiotik dari bakteri coli, bisa jadi marker tahan antibiotik kembali ke coli kemudian menyebabkan diare yang kebal antibiotik.
  2. Pada saat konstruksi gene menggunakan selectable marker ketahanan herbisida, bisa jadi gen tahan herbisida yang telah ditambahkan kedalam tanaman 'berpindah' ke gulma yang memiliki kekerabatan dekat dengan tanaman tersebut sehingga berkembang gulma tahan herbisida
  3. Gen Bt yang berubah dari protoxic menjadi toxic
 Tetapi untuk mengatasi bahaya tersebut sekarang ini dapat digunakan carrier DNA yang bukan dari bakteri melainkan polen. Gen dari tanaman ini lebih aman dari pada hewan karena untuk protein yang sama tersusun oleh basa nitrogen yang berbeda.

Kunjungan ke Balai Penelitian Karet Getas (Juni 2012)


Kunjungan ini adalah salah satu program dari mata kuliah Budidaya Tanaman Tahunan tahun 2012 (tahun-tahun sebelumnya juga sama.. grr >_<). Meskipun awalnya malas-malasan karena banyak faktor eksternal yang menyebalkan (nothing, just personal problem gals!) dan biayanya yang menguras uang makan seminggu, tapi sesampainya di lokasi rasanya sudah bisa terikhlaskan, Alhamdulillah.
Kami berangkat dari Jogja pukul 7.30 melalui jalan ringroad utara lalu mengikuti sepanjang jalan jalan jogja-solo. Dengan kecepatan bis kura-kura kami sampai pukul 10.45. Sebelum sampai di lokasi sebenarnya kami sempat terhambat perbaikan jalan, jalan ini baru disemen, kemungkinan karena sruktur tanahnya yang gumpal dan mudah hancur tidak memungkinkan jalan biasa (aspal) untuk lewat truk-truk besar. Tiba di lokasi kami disambut beberapa staf pabrik dan staf peneliti.
Gerbang Pabrik
Tidak lama basa-basi kami langsung digiring ke gedung pengolahan RSS (lateks lembaran). Di sini kami melihat proses penampungan lateks cair kedalam beberapa buah corong raksasa yang kemudian dialirkan menuju bak-bak koagulasi dengan lengser-lengser raksasanya. Tidak banyak orang yang terlihat bekerja disini karena kebetulan saat itu pabrik sedang dalam masa istirahat.
Penampung Latek Cair

Bak Koagulasi
Menggandeng gedung RSS adalah gedung pengasapan yang terdiri dari dua lantai. Ada banyak ruangan gelap gulita yang sunyi senyap di sini berisi bambu-bambu untuk menggantung orang eh maksudnya lembaran lateks. Lembaran lateks yang masih segar berwarna putih susu, setelah kering warnanya menjadi cokelat kehitaman dan berbau menyengat karena pengasapan. Pengasapan dilakukan selama satu minggu dengan peningkatan suhu secara pertahap. Panas dalam ruang pengasapan dihasilkan dari pembakaran kayu karet dalam tungku raksasa yang ada di lantai dasar. Kayu karet dipilih karena baunya yang relatif tidak terlalu menyengat dibandingkan dengan kayu lainnya. Dalam satu hari biasanya pengasapan ini dapat memakan 3-4 meter kubik kayu karet. Banyak banget ya.. Kami bersyukur tidak berkunjung ke sini malam hari. Ngeri.. di samping gedung pengasapan yang gelap gulita dan sunyi senyap ini ada sebuah gedung tua yang tinggi dan diselimuti rumput-rumput menjalar. Entah mengapa gedung itu ada di sana.
Ruang Pengasapan
Penampung Limbah
Gedung Tua
Di samping gedung pengasapan sangat ramai. Disini lateks lembaran yang sudah diasap kemudian dimakan, eh salah lagi, bukan dimakan tetapi di sortasi, tidak boleh ada lubang sedikitpun di tiap lembaran lateks itu. Setelah disortasi kemudian dipak dengan dibubuhi tepung, untuk menjaga agar lembaran-lembaran tersebut tidak rusak karena saling menempel.
Pengepakan
Adzan Dzuhur berkumandang, waktunya sholat dan makan. Karena tempat wudhu hanya ada satu ruang sempit untuk laki-laki dan perempuan maka beberapa dari kami mencari toilet. Toilet yang ku temukan sangatlah sepi dan tidak terawat, kamungkinan waktu malam tempat ini juga menyeramkan, ditambah lagi di dekatnya ada sebuah gedung tua yang juga tidak terawat. Setelah selesai sholat kami yang wudhu di toilet seram itu baru tahu kalau ternyata ada toilet baru yg lebih kinclong. Alamak..
Waktu makan jadi sangat singkat karena sholat yg lama. Sekardus makanan padang dan sekardus snack yang disediakan jadi terasa percuma. Tapi tidak masalah bagiku, sudah ku siapkan tas kain khusus untuk membawa pulang berkat. Hahaha.. akhirnya cuma sebuah pisang yang ku makan untuk siang ini.
Lanjut perjalanan beberapa meter menyeberang jalan yang sedang diperbaiki tadi menuju kebun karet. Lahan sekitar 2000 ha ini terbagi menjadi beberapa bagian untuk penyadapan, percobaan, dan juga pembibitan.
Perjalanan Menuju Kebun
Kebun Stock
Kebun Entres
Pembibitan di sini dilakukan hanya dengan cara okulasi (menempel). Perbanyakan dengan biji hanya dilakukan untuk penelitian/percobaan. Bahan untuk okulasi berasal dari kebun entres dan kebun induk. Dalam teknik okulasi ini ditekankan beberapa teknik yang prinsip:
1. Mata tunas diambil dari kulit batang sekitar 10 cm secara hati-hati sehingga mata tunas tidak terlepas dari kulit batang yang diambil ataupun berlubang
2. Batang bawah dikelupas kulit batangnya yang berwarna cokelat
3. Mata tunas ditempelkan dalam satu kali gerakan tanpa merubah posisi atau menggoyangkan apapun
4. Segera setelah itu bagian yang ditempel itu dililit dengan plastik dari bawah ke atas (agar air hujan tidak masuk)
5. Setelah sekitar satu bulan, mata tunas yang hidup akan terlihat berwarna kehijauan, sedangkan yang mati tetap berwarna cokelat gelap. Untuk meyakinkannya kulit sekitarnya dapat dikorek sedikit sehingga terlihat apakah warna bagian dalamnya sudah hijau atau belum
6. Jika ternyata mata tunas tersebut mati (disebut ‘janda satu’), dapat dilakukan satu kali lagi okulasi ulang di sisi lainnya
7. Okulasi dilakukan di batang bawah sekitar 15 cm dari tanah. jika terlalu tinggi akan dapat mengganggu produksi karena bekas okulasi biasanya membentuk benjolan seperti kaki gajah. Benjolan ini rentan terhadap hama penyakit
8. Jika akan dipindah tanam ke lahan, tajuk batang bawah harus dipotong lebih dahulu. Selama tajuk belum dipotong maka mata tunas okulasi akan tetap ‘tidur’ (tidak tumbuh).
Mata Tunas
Okulasi
Kaki Gajah pada Hasil Okulasi

Di kebun sadap terdapat bermacam klon karet dengan produksi yang beragam pula. Tanaman karet yang sudah bisa disadap ditandai dengan ukuran lilit batang sebesar 45 cm. Penyadapan hanya dapat dilakukan paling cepat setiap 48 jam (simbol: d2), karena penyadapan = menyakiti tanaman, tanaman perlu pemulihan diri untuk bisa disakiti lagi, kejam banget ya manusia.. untuk penyadapan 450 tanaman hanya diperlukan 1 orang tenaga sinder sadap yang bekerja mulai pukul 4.00 dini hari sampai pukul 7.00. waw.. sholat subuh di lahan kali ya. Penyadapan dilakukan dengan pisau sadap pada 3 bidang sadap sejajar berbentuk silinder diagonal yang melilit setengah lingkaran batang pohon (simbol: 3S/2 atau 3x1/2S) pada ketinggian 100-130 cm di atas tanah. Setiap bidang sadap dapat disadap hingga satu bulan. Setelah 5 bulan sisi sadap pertama (B1) dipulihkan dan penyadapan dilakukan pada sisi sadap sebaliknya (B2). B1 dapat disadap kembali setelah 7 bulan istirahat.
Penyadapan
Pengukuran Kedalaman Bidang Sadap
Tanaman karet juga mahluk hidup. Selain dieksploitasi tanaman juga perlu dirawat dan diberi nutrisi. Agar nutrisinya cukup maka pada saat penanaman jarak tanam sebaiknya tidak terlalu rapat (5x5 m atau 5x3 m), jarak 2,5x2,5 m bisa saja digunakan jika lahan tidak memadai asalkan perawatan lebih intensif. Pemupukan dengan pupuk organik dilakukan setahun sekali dan juga dengan N, P, K, Mg secara periodik. Penyadapan bagian atas sebaiknya tidak dilakukan karena tanaman menjadi terlalu terforsir sehingga dapat lebih mudah terkena hama dan penyakit. OPT yang sering menyerang adalah penyakit daun.
Daun-daun pohon karet terlihat cantik ketika menguning, ini adalah gejala gugur daun. Pada masa-masa tertentu setiap tahunnya karet mengalami gugur daun. Pada masa-masa ini produksi lateks meningkat, namun tidak lagi setelah daun habis.

Saatnya pulang, saatnya nampang. Kami pulang lewat jalan lain. Yaitu jalan sempit yang melewati jembatan kereta tua dan kemudian tembus di terminal Bawen. Sebagai resikonya kami kena macet panjang di secang (sudah biasa). Sayangnya bis ini tidak mau nerobos lewat jalan pinggiran berkerikil seperti molen-molen dan truk-truk besar yang sudah nyalip kami. Yah, sekedar saran, kalau pulang sore jangan lewat secang.. >_<

Baca juga

Kerja Sambilan Mudah dan Halal di Survei Online Berbayar #1

Mendapatkan bayaran dari mengisi survei sudah bukan hal asing . Lebih dari 70% orang online untuk mengisi survei . Mereka biasanya menj...