"salah satu amal yang tidak akan putus pahalanya meski manusia telah meninggal dunia adalah ilmu yang bermanfaat"

Menerawang Nasib Pertembakauan Pasca Pengesahan PP Produk Tembakau



Kalau sumber masalah pertembakauan yang sedang diributkan sekarang adalah Peraturan Pemerintah no 9 tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan (http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_perundangan&task=detail&id=3843&catid=3&tahun=2012&catname=PP), maka menurut saya semua perdebatan tentang ini akan cacat, karna
dari definisinya tentang "produk tembakau" saja sudah cacat. Yang dimaksud dengan “produk tembakau” dalam peraturan ini adalah yang terkenal dengan sebutan “rokok”, suatu produk yang secara keseluruhan atau sebagian terbuat dari daun tembakau sebagai bahan bakunya yang diolah untuk digunakan dengan cara dibakar, dihisap, dan dihirup atau dikunyah. Berbeda dengan makna umum produk tembakau yang lebih luas dari sekedar rokok.
Dalam PP ini produk tembakau cenderung hanya berasosiasi pada rokok, padahal banyak produk lain yang merupakan hasil olahan tembakau. misal: nikotin untuk industri farmasi, pestisida nabati, kosmetik, dll. Mungkin kesalahan asosiasi ini terjadi karena produk-produk lain ini tidak sepopuler rokok. Tapi sebagai hukum dasar seyogyanya definisi tidak bersifat subjektif. Kalau memang peraturan ini dikhususkan untuk produk rokok, semestinya jangan membuat ambiguasi dengan menyebutnya sebagai produk tembakau. Dampaknya adalah, masyarakat menjadi cenderung berpikiran negatif terhadap pemerintah sebagai pelaksana, DPR sebagai pengusung, dan nasib pertanian tembakau sebagai korban.
Penyebutan kata produk tembakau dalam peraturan ini yang hanya berasosiasi pada rokok bisa membawa badai terburuk bagi pengembangan produk-produk alternatif tembakau dan pertanian tembakau di Indonesia, karena dampaknya bukan hanya pada persepsi masyarakat melainkan juga pada pembuatan peraturan-peraturan ikutan (seperti peraturan menteri dan peraturan daerah) serta pelaksanaannya di daerah. Saya tidak habis pikir, mengapa selama ini pemerintah tidak menunjukkan keseriusan dalam mengupayakan produk alternatif tembakau, melainkan hanya berputar-putar pada rokok rokok dan rokok. Padahal pengembangan produk alternatif tembakau seperti nikotin dapat memberikan angin segar bagi semua pihak karena nilai ekonominya yang hampir setara dengan tembakau untuk rokok. Dalam pasal 7 ayat 2 pun telah disebutkan, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong pelaksanaan diversifikasi Produk Tembakau.” Berarti pembuat peraturan ini sebenarnya tahu adanya produk lain tembakau selain rokok. Namun, pengembangan produk alternatif tembakau yang disinggung pasal 7 dan 58 dalam peraturan ini hanya akan jadi pajangan saja bila tidak ada keseriusan oleh kementerian dan daerah.
Saya secara pribadi sebenarnya tidak masalah jika ada peraturan yang membawa misi kesehatan (pasal 2) ini dilancarkan. Justru saya mendukung peraturan tersebut bila ini dapat memberikan keadilan bagi seluruh warga negara, antara penikmat, dan non-penikmat rokok seperti saya. Namun saya sangat prihatin terhadap peran media dalam menyebar informasi yang tertular asosiasi negatif produk tembakau dari peraturan ini. Akibat asosiasi negatif ini, perusahaan-perusahaan rokok menjadikan “UU anti tembakau” sebagai alasan untuk memberikan harga rendah pada hasil tembakau petani. Padahal, saya yakin bahwa penjualan rokok tidak akan segera mengalami penurunan yang signifikan dengan diaplikasikannya peraturan ini, melihat kenyataan bahwa kita adalah ‘Bangsa Indonesia’. Saya justru melihat bahwa peraturan ini akan lebih berdampak pada penghambatan kemunculan industri/brand rokok baru dalam skala menengah sampai besar (produksi di atas 24 juta batang per tahun atau lebih dari 67 ribu batang per hari) di dalam negeri. Bukankah harusnya ini merupakan kabar baik bagi industri rokok eksisting dan petani tembakau?

1 komentar:

  1. Di komoditas tembakau sebaiknya kita tidak menjeneralisasi masalah pd semua kasus karena sistem permodalan, perdagangan, penentuan harga, resiko, berbeda-beda. kuncinya yaitu pd perbankan, sistem budidaya, & perdagangan yg turuntemurun berjalan di daerah tsb. kalau kasus di temanggung dan sekitarnya (seperti magelang boyolali):

    1. modal usaha bisa didapat dari:
    - beberapa bank yg menawarkan pinjaman khusus pertanian, pengembaliannya musiman
    - makelar tembakau yg merupakan komisioner, grader & pengumpul sekaligus. mekanisme pengembalian tergantung model hubungan antara makelar & petani. yg modelnya kemitraan lebih kekeluargaan & fleksibel. tapi yg modelnya tdk pakai kemitraan biasanya kalau terjadi kegagalan akan saling menyalahkan.
    - kadang juga terjadi saling 'pinjam' baik dlm bentuk barang/uang antar makelar

    2. Biaya untuk budidaya jauh lebih murah dari pada biaya pengolahan pasca panen, khususnya perajangan. maka dari itu banyak petani temanggung yg menanam tembakau tp yg mengolah sedikit & biasanya dilakukan berkelompok/rombongan:
    - bibit tdk beli karena biasanya petani membibitkan sendiri.
    - perawatan dilakukan sendiri (tenaga kerja keluarga) jadi tidak keluar biaya selain pupuk, pestisida dll yg modalnya dr kaltong sendiri atau pinjam makelar

    3. harga untuk tembakau rajangan ditentukan berdasarkan kualitas (warna, aroma, rasa, kadar nikotin, tar, dll). Bukan hanya makelar saja yg tahu ttg kualitas ini, petani pun sebagian besar tahu. Hanya saja untuk selera pabrik petani tdk tahu.
    Terakhir jual 2012 lalu ke *** harga grade terbaik 30 ribu/kg. harga ini ditentukan oleh hasil tawar menawar pabrik dg makelar. makelar ada yg jahat dg meminta komisi dr petani, tapi ada juga yg baik dg cukup menerima komisi dr pabrik.
    Untuk tembakau cerutu mungkin beda lagi kasusnya.

    4. gagal panen tembakau penyebabnya adalah hujan selama pertumbuhan vegetatif hingga panen, seperti kejadian tahun 2010. Sedangkan gagal jual ke pabrik hanya jadi masalah kalau gudang tidak ada.

    Jadi, sebenarnya solusi masalah tembakau itu gampang asalkan pemerintah betul-betul niat:

    1. Buatkan sebuah gudang bersama untuk menampung hasil panen tembakau & mengantisipasi gagal jual di setiap sentra produksi. Jangan mendikte petani untuk meninggalkan tembakau dengan membeberkan semua kelemahannya. Itu sia-sia karena tembakau adalah darah daging petani. Meskipun industri rokok mati, sy kira tembakau tetap akan hidup di sentra-sentra produksinya. Jangan pula berpikir bahwa membuatkan gudang tembakau berarti mendukung kejayaan rokok, karena jika infrastruktur ini baik akan dapat pula digunakan sebagai lumbung tani komoditas lain.

    2. Berikan fasilitas dan akses seluas-luasnya bagi petani untuk mengolah & menjual produk tembakau non rokok. Meskipun pemda sudah punya fasilitas tapi percuma jika petani tidak diberi akses (contoh: http://www.temanggungkab.go.id/detailberita.php?bid=240). Jangan hanya berdoa untuk kejayaan rokok yg everlasting atau pun bermimpi bahwa petani akan langsung mau diajak meninggalkan tembakau.

    3. Buat petani tembakau tertarik pada komoditas lain seperti kelengkeng, cengkeh, nilam, gaharu & komoditas lain yg tidak kalah menjanjikan, dengan cara memberikan pembinaan budidaya, insentif, akses modal, akses pasar, serta pengetahuan & teknologi yg memadai. Sehingga petani sedikit demi sedikit secara suka rela beralih dari tembakau.

    Semuanya bertumpu pada niat & tekad. Tetaplah berpikir positif & cari jalan keluar yg terbaik, karena Dia tidak menciptakan segala sesuatu tanpa maksud.

    BalasHapus

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik.

Baca juga

Kerja Sambilan Mudah dan Halal di Survei Online Berbayar #1

Mendapatkan bayaran dari mengisi survei sudah bukan hal asing . Lebih dari 70% orang online untuk mengisi survei . Mereka biasanya menj...