Kalimat
“Indonesia paru-paru dunia” terdengar begitu familiar.
Bagaimana tidak, Indonesia memiliki kawasan hutan terbesar se-Asia Tenggara.
Hingga akhirnya kini Indonesia dinobatkan sebagai penyumbang emisi karbon terbesar
ketiga di dunia, tentu tidak lepas kaitannya dengan “penciutan paru-paru” itu. Kontributor utamanya tidak lain adalah kebakaran hutan langganan di berbagai wilayah kaya hutan yang kini ribut diperbincangkan.
Tahun-tahun lalu, negara tetangga yang terdampak asap kebakaran hutan masih bisa menyalahkan Indonesia atas setiap kebakaran yang terjadi. Tapi kini tampaknya dunia cukup bisa sadar bahwa kita semua adalah korban atas tangan kita sendiri. Kebakaran
hutan yang identik dengan fenomena deforestasi ini, apapun motivasi dan penyebab alami
yang mengakibatkan deforestasi itu tidak akan terselesaikan hanya dengan saling
menyalahkan. Semua pihak harus sadar bahwa kebakaran hutan dan deforestasi
adalah “masalahku dan masalahmu”.
Dahulu,
kebakaran hutan bukan hal yang dibuat-buat. Kebakaran hutan sudah merupakan
salah satu ciri hutan Indonesia tanpa tanpa perlu utak-atik tangan manusia karena bumi yang sangat kaya batu bara, kemudian secara
alami cuaca panas tinggi dan kekeringan berkepanjangan menyebabkan
kebakaran.
Namun demikian, kebakaran hutan yang sering terjadi akhir-akhir ini tampaknya kurang pas jika disebut kebakaran alami karena ternyata tidak sedikit titik api teridentifikasi berada di area konsensi perusahaan)1. Kebakaran yang terjadi diluar area itu pun secara tidak langsung merupakan dampak pengembangan perkebunan sawit oleh perusahaan di kawasan hutan gambut yang sering kali tidak memperhatikan daya dukung lahan. Prinsip standar lahan gambut yang boleh digarap dengan kedalaman tidak lebih dari 1 (satu) meter kebanyakan hanya sampai pada pengetahuan para pengembang dan pembuat kebijakan. Dampaknya, kanal-kanal yang dibuat untuk pengairan di perkebunan menyedot air di sekitarnya, menyebabkan kekeringan, panas berlebih, dan kebakaran. Bukan hanya perusahaan, kadang masyarakat setempat pun melakukan pembakaran demi menghemat biaya pembukaan lahan)2.
Kanal kebun yang menyedot air dari lahan gambut, menyebabkan kekeringan dan kebakaran (sumber). |
Demi ekonomi, sekarang orang bisa melakukan apa saja. Pun untuk mengalihfungsikan hutan menjadi perkebunan dengan dalih keduanya sama-sama ditumbuhi pepohonan dan menghasilkan oksigen. Padahal, kerapatan
vegetasi hutan tidak dapat disamakan sekalipun itu dengan perkebunan. Kemampuan
penyerapan karbon pun jauh berbeda karena struktur vegetasi serta komponen biotik-abiotik perkebunan tidak sekompleks hutan.
Berkurangnya kualitas dan kuantitas area
hutan akibat alih fungsi ataupun tindakan deforestasi lainnya memberikan kontribusi besar bagi ancaman kelangsungan hidup manusia. Penurunan
kualitas dan kuantitas hutan sebanding dengan penurunan aktivitas penyerapan
karbon alam. Berkurangnya variasi vegetasi, penurunan tingkat kerapatan dan
penimbunan sampah karbon sama artinya dengan membiarkan karbon dan gas rumah
kaca lainnya tebang lepas ke udara karena tidak ada lagi yang mampu mengikat
mereka. Gas gas rumah kaca yang terbebas itu bertebaran di udara dan menahan
panas matahari di dalam atmosfir bumi, tempat tinggal manusia. Panas yang
terakumulasi ini ujung-ujungnya ada dua hal. Pertama, menjadi pemicu kebakaran
berikutnya. Kedua, merupakan komplemen perubahan iklim yang berujung pada kerusakan bumi.
Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) mengungkapkan bahwa lima
puluh persen potensi mitigasi perubahan iklim dunia dapat dicapai dengan
mengurangi emisi yang disebabkan oleh deforestasi (Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC) 4th Assessment Report 2007). Kebakaran
hutan pada 1997 karena adanya El Nino menimbulkan emisi / penyebaran sebanyak
2,6 miliar ton karbon dioksida ke atmosfer (majalah Nature 2002). Sebagai
perbandingan total emisi karbon dioksida di seluruh dunia pada tahun tersebut
adalah 6 miliar ton. Padahal El Nino terjadi setiap rentang waktu tertentu.
Harusnya hal-hal semacam ini menjadi pelajaran mahal untuk membuka mata
kita terhadap alam, dan hutan pada khususnya. Oleh karenanya, masalah deforestasi ini semstinya
bukan hanya tanggung jawab pemilik lokasi hutan yang diakui secara de jure, melainkan menjadi tanggung jawab setiap individu di seluruh belahan bumi. Ya, kita semua.
Baca juga: Ayo Lakukan! 5 Aksi Konkret Melawan Asap
Baca juga: Ayo Lakukan! 5 Aksi Konkret Melawan Asap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik.