"salah satu amal yang tidak akan putus pahalanya meski manusia telah meninggal dunia adalah ilmu yang bermanfaat"

Deteksi Patogen Benih Cabe di PT. BISI Internasional, Tbk.


PT. BISI Internasional, Tbk. merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang perbenihan tanaman pangan dan hortikultura. Sebagai perusahaan multinasional yang senantiasa mengikuti perkembangan teknologi dan memiliki fasilitas laboratorium dan pabrik yang modern, PT. BISI International, Tbk. telah mendapatkan kepercayaan dari pemerintah sebagai Instalasi karantina tumbuhan dan memiliki wewenang untuk mengevaluasi kesehatan benih karena memiliki Sertifikat Karantina Mandiri yang diterbitkan melalui SK Menteri tahun 2006.
Disamping itu PT. BISI International, Tbk. juga mendapatkan Akreditasi Sistem Mutu dari Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura LSSM - BTPH pada tahun 2000. Juga pada tahun 2005 mendapat Sertifikat untuk Sertifikasi Sistem Managemen Mutu sesuai standar SNI dan LSSM - BTPH dan KAN (Komite Akreditasi Nasional). Ditahun yang sama, PT. BISI International, Tbk. mulai mengembangkan Eksport hingga ke Mancanegara antara lain China, Philipina, Jepang, Vietnam dan Malaysia yang kemudian dikembangkan lagi pemasarannya ke India pada tahun 2008. PT. BISI International, Tbk. juga senantiasa melakukan pembaharuan izin-izin yang dimiliki.
Praktikum lapangan ini diperlukan untuk mengetahui metode deteksi patogen benih cabe serta permasalahan dan solusinya di PT. BISI Internasional, Tbk.

Perlakuan Benih Cabe Keriting



Cabai merupakan salah satu komoditas sayuran yang terpenting di Indonesia. Cabai yang dibudidayakan secara luas di Indonesia termasuk spesies Capsicum annuum L. (misalnya cabai besar dan cabai keriting) dan C. frutescens L. (misalnya cabai rawit).
Salah satu penyakit utama pada pertanaman cabai adalah antraknosa atau pathek yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum capsici. Pada kondisi lingkungan yang optimum bagi perkembangan patogen, antraknosa dapat menghancurkan seluruh areal pertanaman cabai (Prajnanta, 1999). Penyakit antraknosa sukar dikendalikan karena infeksi patogennya bersifat laten dan sistemik, penyebaran inokulum dilakukan melalui benih (seed borne) atau angin serta dapat bertahan pada sisa-sisa tanaman sakit. Serangan patogen antraknosa pada fase pembungaan menyebabkan persentase benih terinfeksi tinggi walaupun benih tampak sehat. Cendawan C. capsici dapat menyerang inang pada segala fase pertumbuhan (Sinaga, 1992).
Oleh karena itu, upaya yang paling mudah dan murah untuk mencegah penyakit antraknosa pada pertanaman cabai adalah dengan menjaga kesehatan benih dan menerapkan metode enhancement. Salah satu metode enhancement menurut Copeland dan McDonald (1995) adalah Seed coating, yakni metode untuk memperbaiki mutu benih menjadi lebih baik dengan penambahan bahan kimia pada coating yang dapat mengendalikan dan meningkatkan perkecambahan. Ilyas (2003) menambahkan bahwa penggunaan seed coating dalam industri benih sangat efektif karena dapat memperbaiki penampilan benih, meningkatkan daya simpan, mengurangi risiko tertular penyakit dari benih di sekitarnya, dan dapat digunakan sebagai pembawa zat aditif, misalnya antioksidan, anti mikroba, repellent, mikroba antagonis, zat pengatur tumbuh dan lain-lain.

Deteksi Virus Patogen dengan Metode LAMP



Produksi budidaya tanaman dalam bidang pertanian dapat bernilai tinggi baik secara kualitas maupun kuantitas apabila faktor-faktor yang mempengaruhi produksi tersebut dilakukan secara baik. Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi pertanian adalah Benih tanaman. Benih yang bermutu rendah, baik dalam hal daya tumbuh maupun karena terinfeksi patogen tular benih, apabila ditanam akan menghasilkan populasi tanaman per satuan berat benih dan luas tanam yang lebih rendah dibanding benih yang bermutu tinggi. Populasi tanaman yang tumbuh dan dipanenmerupakan faktor yangmenentukan tinggi rendahnya produksi dan produktivitas tanaman.  Rendahnya populasi tanaman antara lain disebabkan oleh daya tumbuh benih yang rendah, atau oleh serangan hama dan penyakit. Benih yang tidak sehat (terinfeksi oleh patogen) akan tumbuh menjadi kecambah dan tanaman yang juga tidak sehat, sehingga tidak mampu berproduksi optimal. Infeksi patogen tular benih tersebut seringkali tidak nampak jelas pada benih dan barumemperlihatkan gejala pada kecambah, bahkan adakalanya baru tampak pada saat tanaman sudah tumbuh dewasa (Saleh, 2008).
Salah satu patogen benih yang berpotensi merugikan adalah virus. Penyakit mosaik pada tanaman cabai umumnya disebabkan oleh gabungan beberapa patogen virus. TMV merupakan virus yang diketahui dapat ditularkan melalui benih (Widodo dan Wiyono, 1995). Tanaman yang terserang TMV menurut Widodo dan Wiyono, menunjukkan gejala, yaitu daun-daun muda berubah menjadi warna belang kuning hijau, keriting serta berkerut, tanaman kerdil, buah belang dan berwarna kuning, serta munculnya garis nekrosis pada daun cabai yang menyebabkan terjadinya gugur daun.
Untuk mendeteksi virus yang terdapat dalam benih maka harus dilakukan prosedur-prosedur tertentu, Karena ukuran virus sangat kecil, menyebabkan virus sulit dideteksi. Ada sejumlah teknik yang biasanya digunakan untuk identifikasi awal virus, yaitu (Burgess, 1955):
1.      Menggunakan mikroskop elektron untuk memvisualisasi virus di dalam sel-sel jaringan.
2.      Menumbuhkan virus di laboratorium menggunakan cell line, yaitu melakukan kultur sel jaringan di laboratorium (in vitro).
3.      Identifikasi virus menggunakan teknik serologi, menggunakan serum dari inang yang mengandung antibodi spesifik terhadap virus tertentu. Dengan demikian manakala virus (sebagai antigen) kontak dengan serum akan terjadi aglutinasi sebagai respon antibodi terhadap antigen.
4.      Menggunakan PCR dan sequencing DNA.
5.      Secara imunokimia/imunositokimia.
Selain itu, terdapat juga metode modern yang sering disebut dengan metpde LAMP. Metode deteksi virus patogen dengan metode Loop mediated isothermal amplification (LAMP)  merupakan teknik tabung tunggal untuk amplifikasi DNA. Amplifikasi dan deteksi gen dengan LAMP (Anonim, 2005) dapat diselesaikan dalam satu langkah, yaitu dengan menginkubasi campuran sampel DNA, primer, dan DNA polimerase pada suhu konstan (sekitar 65 ° C) selama 15-60 menit. Deteksi secara visual dapat dilakukan dengan bantuan flourecence.

Deteksi Virus Patogen dengan Metode PCR



Metode deteksi virus umumnya menggunakan metode teknik Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) dan reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR). ELISA didasarkan pada penggunaan antibodi yang didapatkan dari hewan untuk mengenali protein virus. Metode ini telah lama digunakan untuk pengujian virus tanaman karena kemudahan dan sensitivitasnya yang cukup baik. Meskipun demikian metode ini mempunyai kelemahan yaitu, kemungkinan terjadinya reaksi silang dengan protein tanaman (Webster et al. 2004). Teknik RT-PCR didasarkan pada pendeteksian RNA virus. Teknik ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan ELISA karena memiliki spesifitas dan sensitivitas yang lebih baik (Henson & French 1993). Namun  di balik keunggulannya metode RT-PCR juga memiliki beberapa kekurangan diantaranya adalah keberadaan senyawa inhibitor pada ekstrak RNA total tanaman yang dapat mempengaruhi proses amplifikasi DNA target (Narayanasamy 2008).
Selain teknik RT-PCR dan Elisa deteksi virus pathogen juga dapat dilakukan dengan Teknik sintesis dan amplifikasi fragmen DNA secara in vitro yang dikenal dengan Polymerase chain reaction (PCR) merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi penyakit infeksi yang baru-baru ini banyak dikembangkan. Metode ini digunakan untuk mengatasi kelemahan metode diagnosis konvensional seperti imunologi dan mikrobiologi. Patogen memiliki waktu generasi lama dan tidak dapat dibiakkan secara in vitro atau patogen yang mirip dengan flora normal sulit untuk dideteksi dengan cara mikrobiologi biasa. Sedangkan titer antibodi tinggi tidak selamanya berbanding lurus dengan adanya infeksi aktif (Retnoningrum 1997). Oleh karena itu perlu dilakukan deteksi virus penting yang mungkin menyerang tanaman dengan metode PCR.

Deteksi Bakteri Patogen Benih Cabe Keriting (Capsicum Annum)


Diagnosis penyakit yang disebabkan bakteri dan identifikasi bakteri penyebabnya terutama didasarkan pada gejala penyakit, terdapatnya bakteri dalam jumlah besar secara terus menerus pada daerah terserang, dan tidak terdapat patogen lain di tempat tersebut. Telah tersedia medium selektif untuk pemeliharaan secara selektif untuk hampir semua jenis bakteri patogenik tumbuhan yang bebas dari saprofit umum, sehingga dapat diidentifikasi sampai tingkat genus bahkan sampai tingkat spesies (Agrios, 1996).

Deteksi Jamur Patogen Benih Cabe



Fungi atau jamur merupakan penyebab penyakit infeksi yang utama pada tanaman. Jamur merusak tanaman dengan berbagai cara. Misalnya spora yang masuk ke dalam bagian tanaman lalu mengadakan pembelahan dengan cara pembesaran sel yang tidak teratur sehingga menimbulkan bisul-bisul. Pertumbuhan yang tidak teratur ini mengakibatkan sistem kerja jaringan pengangkut air menjadi terganggu sehingga kehidupan tanaman menjadi merana (Wudianto, 1999).
Salah satu penyakit utama pada pertanaman cabai yang disebabkan oleh cendawan adalah antraknosa atau pathek. Kerugian yang disebabkan oleh antraknosa dapat mencapai 60 % atau lebih (Duriat et al., 1991; Hartman dan Wang, 1992).

Growing on Test

Lebih dari 100 jenis virus dapat ditularkan oleh biji. Ada dua mekanisme virus agar dapat ditularkan melalui biji yaitu virus tersebut berada dalam sel-sel di luar embrio dan virus berada dalam jaringan embrio, tetapi hal ini jarang terjadi. Meskipun sel induk dapat terinfeksi virus namun virus tidak sampai memenetrasi ke embrio karena kantung embrio tidak memiliki plasmodesmata. Kebanyakan virus tidak dapat bertahan dalam kondisi kering sehingga virus akan hilang sejalan dengan pemasakan biji (Wahyuni, 2005).

Uji kesehatan benih terutama ditujukan pada ada atau tidaknya penyakit yang disebabkan oleh organisme, seperti jamur, bakteri, virus dan hama, seperti ulat dan serangga tetapi kondisi fisiologi juga dapat menjadi penyebabnya. Pengujian mengenai ada atau tidaknya organisme terbawa benih harus dilakukan dengan metode yang berdasarkan pada penelitian yang dapat diterima secara internasional. Tujuan akhir dari uji kesehatan benih sangat erat hubungannya dengan kebijakan yang aktual dalam peningkatan mutu benih, perdagangan benih, dan perlindungan tanaman (Neergard, 1977).

Benih yang bermutu adalah benih yang dinyatakan sebagi benih yang berkualitas tinggi dari jenis tanaman unggul. Benih yang berkualitas tinggi ini memiliki daya tumbuh lebih dari 90 % dengan ketentuan memiliki viabilitas atau dapat mempertahankan kelangsungan pertumbuhannya menjadi tanaman yang menghasilkan, mampu berkecambah dengan baik dan tumbuh normal sering disebut dengan benih yang matang, ketentuan yang kedua yaitu memiliki kemurnian yang artinya bebas dari kotoran, dari benih tanaman lain, bebas dari biji herba dan hama penyakit (ISTA, 2005).

Metode deteksi patogen menurut Neergard (1977) ada lima macam, yaitu:
  1. metode pengamatan benih yang tidak berkecambah: pengamatan biji kering secara langsung; pengamatan suspensi patogen hasil pencucian benih; pengamatan suspensi patogen hasil pencucian benih yang kemudian diendapkan; pengamatan embrio biji.
  2. metode inkubasi: metode kertas isap dengan berbagai macam variasi, metode agar, metode agar cair dalam tabung, metode batu bata, pasir atau tanah
  3. metode hayati (bioassay) dan biokimiawi: metode indikator, metode phage plaque, metode serologi
  4. metode pengamatan setelah melewati medium semai: metode growing- on
  5. metode molekuler: metode asam nukleat, teknologi PCR (Polymerase Chain Reaction).
Metode uji pengecambahan dapat digunakan untuk mendapatkan informasi yang mewakili gejala di lapangan. Sejumlah cendawan, bakteri dan virus terbawa benih sering menghasilkan gejala infeksi atau serangan pada bibit tanaman. Gejala terjadi pada akar, batang, daun atau seluruh bagian tanaman bahkan sampai menyebabkan kematian pada benih tanaman (Susetyo, 2012).

Benih berkualitas mampu memunculkan  kecambah yang normal, sebaliknya benih yang rusak, rendah kualitasnya akan menghasilkan kecambah/ bibit abnormal. Kerusakan benih dapat terlihat nyata (retak kulit, mengelupas atau biji pecah). Namun, kadang-kadang kerusakan tidak tampak karena disebabkan oleh patogen yang berada di dalam benih sehingga kerusakan benih dapat diketahui setelah benih berkecambah berupa adanya gejala abnormal. Oleh karena itu dalam pengujian kesehatan benih perlu dilakukan uji daya tumbuh benih dengan metode growing- on untuk mengetahui adanya atau tidaknya patogen yang menginfeksi benih. 

Praktikum Patologi Benih acara 1 dengan judul Growing on Test dilaksanakan pada tanggal 17-24 Oktober 2012 di Laboratorium Klinik Tumbuhan dan greenhouse, Jurusan Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat dan bahan yang digunakan adalah benih cabai, pot, nampan, dan media tanam.

Praktikum ini merupakan deteksi virus menggunakan metode growing on test dengan cara in vivo. Cara kerjanya adalah pertama-tama memilih biji yang normal dan abnormal secara visual. Kemudian menyediakan pot dan media tanam. Pada masing-masing pot dibuat 5 lubang sedalam ±1 cm. setiap lubang ditanami dengan 2 benih cabai sehingga dalam 1 pot tersebut terdapat 10 benih cabai yang akan tumbuh. Setiap jenis benih cabai yang digunakan dilakukan 3 ulangan. Setelah itu pot ditaruh di nampan untuk kemudian ditaruh di rumah kaca. Setelah itu diinkubasi selama 7 hari dalam greenhouse dan diamati adanya gejala patogennya. Dicatat hasil pengamatan jumlah benih yang berkecambah serta gejala patogennya. Jumlah benih berkecambah dihitung gaya berkecambahnya dengan rumus :
GB = jumlah benih yang berkecambah x 100%
                                                  jumlah biji yang dikecambahkan

Deteksi virus adalah suatu cara atau metode yang digunakan untuk mengetahui apakah dalam suatu tanaman atau benih terdapat virus atau tidak. Banyak metode deteksi virus yang digunakan dalam laboratorium-laboratorium, diantaranya dengan growing on test, serologi, PCR, mikroskop elektron, dll. Namun yang paling banyak digunakan adalah growing on test karena metode ini mudah dan ekonomis. Growing on test ini dengan melihat pertumbuhan dari benih apakah terlihat gejala virus atau tidak pada perkecambahannya. Prinsip pengujian benih dengan metode growing on test adalah memberikan kondisi tumbuh yang optimal bagi mikroorganisme terbawa benih, baik yang ada di permukaan ataupun yang ada di dalam jarungan benih.

Tabel 1. Perkecambahan dan gaya berkecambah benih cabe keriting sachet yang diperoleh dari toko benih, cabe rawit putih yang diperoleh dari pertanaman, dan cabe rawit hijau yang diperoleh dari warung makan
Perlakuan
Ulangan
Jumlah benih yang berkecambah pada pengamatan Hari ke-
GB (%)
2
4
6
8
Cabe keriting
1
0
1
4
4
40
2
0
0
1
2
20
3
0
2
7
7
70
Cabe rawit putih
1
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
3
0
0
0
0
0
Cabe rawit hijau
1
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
3
0
0
0
0
0
Praktikum Growing on Test dengan menggunakan biji cabai secara in vivo, tidak ditemukan adanya gejala patogen. Kenampakan tanaman dari benih cabai yang ditanam sehat, secara visual biji bersih, permukaan mulus. Pada uji in vivo, terlihat dari 3 jenis benih cabai yang diujikan, hanya sampel benih cabe rawit keriting sachet yang diperoleh dari toko benih yang berhasil berkecambah dan tumbuh dengan normal, meskipun tidak seluruh ulangan memiliki daya kecambah yang baik.

Gaya berkecambah menentukan kualitas dari suatu benih. Gaya berkecambah diharapkan merupakan dapat merepresentasikan daya tumbuh benih jika ditanam di lingkungan tumbuh yang sebenarnya. Benih cabai keriting sachet yang diperoleh dari toko benih semestinya memiliki daya kecambah yang baik dan dapat menjamin pertumbuhan serta hasil yang baik di lapangan, namun setelah diuji ternyata rata-rata daya kecambahnya hanya 65%, masih berada di bawah standar benih cabe yaitu 95%. Sehingga benih ini sebenarnya sudah tidak layak sebagai bahan tanam, terlebih untuk dikomersialkan.

Benih cabe rawit putih dan cabe rawit hijau yang tidak dapat berkecambah sama sekali dapat dikarenakan oleh dormansi biji atau adanya infeksi patogen. Pada benih yang masih baru, umumnya permeabilitas benih, GB benih, dan indeks vigor benih masih baik, begitu pula dengan zat pengatur tumbuh yang dikandungnya pun masih baik untuk memulai pertumbuhan perkecambahan, sehingga gaya berkecambahnya pun masih tinggi. Sehingga apabila diletakkan pada tempat yang sesuai maka benih akan cepat dan mudah berkecambah. Namun bila benih masih dalam masa dorman maka GB benih dan vigor tidak dapat muncul meskipun telah diberikan kondisi yang optimum bagi perkecambahannya. Benih yang sudah tidak dorman namun terinfeksi patogen juga memiliki kemungkinan untuk tidak dapat berkecambah jika infeksi yang terjadi telah mematikan embrio. Benih yang tidak dorman tetapi tidak dapat tumbuh setelah periode pengujian tertentu juga dinilai oleh Sutopo (1993) sebagai mati. Benih mati sebaiknya tidak diperhitungkan ataupun dibertimbangkan sebagai bahan tanam.

Kekurangan dari metode grow-on test ini adalah terkadang virus tidak muncul saat fase vegetatif dari tanaman atau saat berkecambah dan virus ini akan muncul setelah di lapangan. Growing on test juga dibutuhkan uji lanjut seperti ELISA, PCR, serologi, dll agar didapatkan hasil yang lebih baik untuk mengantisipasi bahaya laten patogen.
           
KESIMPULAN
  1. Berdasarkan metode Growing on test, benih cabai keriting sachet yang diperoleh dari toko benih dan berhasil berkecambah tidak mengandung patogen baik itu jamur, bakteri, atau pun virus. Sedangkan benih cabe rawit putih yang diperoleh dari pertanaman dan cabe rawit hijau yang diperoleh dari warung makan dapat dikatagorikan ke dalam benih dorman atau benih mati setelah dilakukan uji lanjut.
  2. Benih cabai keriting sachet yang diperoleh dari toko benih sudah tidak layak sebagai bahan tanam, terlebih untuk dikomersialkan, karena daya kecambahnya kurang dari 95%.
  3. Metode Growing on test dapat dipilih untuk menguji kesehatan benih karena mudah dan murah, namun perlu uji lanjut untuk mendeteksi patogen yang tidak muncul saat fase vegetatif tanaman.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. International Seed Testing Association (ISTA) International Rules for Seed Testing.  Seed Science and Technology 13 : 299-355.
Neergard, P. 1977. Seed Pathology. MacMillan, London. 
Rustikawati, 2000. Identifikasi genotipe tahan dan pewarisan sifat ketahanan terhadap Cucumber Mosaic Virus (CMV) pada cabai merah (Capsicum annum L.). Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Susetyo, H. P. 2012. Pengelolaan Benih Melati. <http://ditlin.hortikultura.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=499%3Apengelolaan-benih-melati&catid=42%3Ademo-category&I temid=1>. Diakses 17 Oktober 2012. 
Sutopo, L. 1993. Teknologi Benih. Rajawali Press, Jakarta.
Wahyuni, W. S. 2005. Dasar-Dasar Virologi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 
Wirajaswadi, L. 2010. Penyakit Tungro dan Pengendaliannya Pada Tanaman Padi. <http://ntb.litbang.deptan.go.id/ind/index.php/artikel/300-penyakit-tungro-dan-pengendaliannya-pada-tanaman-padi>. Diakses pada tanggal 8 Desember 2012.

Baca juga

Kerja Sambilan Mudah dan Halal di Survei Online Berbayar #1

Mendapatkan bayaran dari mengisi survei sudah bukan hal asing . Lebih dari 70% orang online untuk mengisi survei . Mereka biasanya menj...