Dalam
siklus karbon, atom karbon terus mengalir dari produsen ke konsumen dalam
bentuk molekul CO2 dan karbohidrat, sedangkan energi foton matahari
digunakan sebagai pemasok energi yang utama. Produsen memerlukan CO2
yang dihasilkan konsumen untuk fotosintesis. Dari kegiatan fotosintesis
tersebut produsen dapat menyediakan karbohidrat dan oksigen yang diperlukan
oleh konsumen untuk melangsungkan kehidupannya (Anshory, 1984).
Menurut Dowswell dkk. (1996), jagung merupakan tanaman serelia paling produktif di dunia, mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai lingkungan di negara-negara tropis dan subtropis, dari dataran rendah hingga ketinggian 3000 mdpl, dan dari curah hujan tinggi hingga rendah 500 mm/ tahun.
Menurut Dowswell dkk. (1996), jagung merupakan tanaman serelia paling produktif di dunia, mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai lingkungan di negara-negara tropis dan subtropis, dari dataran rendah hingga ketinggian 3000 mdpl, dan dari curah hujan tinggi hingga rendah 500 mm/ tahun.
Umur panen jagung menurut Hyene
(1987) dipengaruhi oleh suhu. Setiap kenaikan 50 m dpl, umur panen jagung
menjadi mundur satu hari. Di dataran rendah, umur panennya 3-4 bulan, sedangkan
di atas 1000 mdpl umurnya 4-5 bulan. Produksi jagung yang berbeda-beda antar
daerah salah satunya disebabkan oleh perbedaan varietas yang di tanam. Menurut
Iriany dkk. (2007), agroekologi
spesifik memerlukan varietas yang spesifik untuk memperoleh produktivitas
optimal.
Secara umum menurut Iriany dkk. (2007), jagung berasal dari Amerika
Tengah atau Amerika Selatan. Jagung yang ada sekarang telah mengalami evolusi
dari tanaman serealia primitif yang bijinya terbuka dan malainya sedikit,
menjdai tanaman yang produktif, bijinya banyak pada tongkol tertutup. Menurut
Indradewa dkk. (2005), berbeda dengan
beberapa jenis tanaman lain, jagung varietas unggul mempunyai batang lebih
tinggi dibandingkan dengan jagung varietas lokal, sehingga di duga boros
asimilat. Dari data yang diperoleh, dimungkinkan adanya peningkatan hasil biji
dengan perlakuan pemotongan ruas batang. Namun, hasil penelitian ini berbeda
dengan hasil penelitian Fischer dan Palmer (1996) dalam Indradewa dkk. (2005), yang mendapatkan bahwa
pengurangan kebutuhan asimilat oleh batang dan malai bunga jantan pada tanaman
jagung yang lebih pendek telah meningkatkan bobot kering yongkol pada saat
pembungaan.
Pada umumnya jagung hibrida terbaik
memberikan hasil lebih tinggi daripada jagung varietas bersari bebas (Sudjana dkk.,
1991). Penelitian Budiman dan Sujiprihati (2000) menunjukkan adanya korelasi
positif antara jagung berbatang tinggi dengan hasil. Hal ini dimungkinkan
karena efisiensi penerimaan cahaya lebih besar, yang diindikasikan oleh
proporsi cahaya matahari yang diserap tajuk dengan total luas lahan yang
dinaungi tanaman dan sebaran daun (Rohig dkk., 1999; Reta-Sanchez dan Fowler,
2002; Stewart dkk., 2003).
Selain itu, tingginya
hasil tanaman berbatang tinggi juga dimungkinkan karena kemampuan bersaing
mendapatkan cahay matahari. Menurut Salisbury dan Ross (1995), persaingan antar
tanaman menyebabkan masing-masing tanaman harus tumbuh lebih tinggi agar
memperoleh cahaya lebih banyak. Faktor lainnya adalah kemampuan tanaman/
varietas tersebut dalam mendistribusikan asimilat berupa bahan kering ke biji
yang sebagaimana dikemukakan oleh Goldsworthy dan Colegrove cit. Fischer dan Palmer (1995).
Dikemukakan pula bahwa indeks luas dan optimum untuk hasil biji jauh lebih
rendah daripada untuk pertumbuhan tanaman, maksimum antara 2,5-5,0. Jika ILD
lebih besar maka lahan kering akan didistribusikan ke batang.
Metodologi
Praktikum Fisiologi
Tanaman Acara II
berjudul Perbandingan antar Kultivar dilaksanakan pada tanggal 25 Oktober 2012
di lahan petani Banguntapan, Bantul. Praktikum dilakukan dengan membandingkan
pertumbuhan dan hasil tanaman dari dua varietas jagung, yaitu jagung lokal dan
unggul (hibrida). Bahan yang digunakan adalah hamparan pertanaman jagung
tersebut dengan Rancangan Acak Kelompok Lengkap dan kelompok sebagai blok. Sedangkan, alat-alat yang digunakan adalah timbangan, penggaris,
gunting, oven, hand counter, dan alat
tulis.
Langkah kerja praktikum ini diawali dengan dilakukannya pengamatan sebanyak dua kali pada jagung umur 8 dan 10 minggu. Variabel yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, bobot kering total (pada pengamatan 1 dan 2), jumlah polong, jumlah polong isi pertanaman, jumlah biji per polong, bobot kering biji pertanaman (pada pengamatan ke 2). Dari hasil pengamatan tersebut, kemudian dihitung LAI (Leaf Area Index), NAR (Net Assimilation Rate), CGR (Crop Growth Rate), dan HI (Harvest Index). persamaan regresi dibuat untuk tinggi tanaman, luas daun, jumlah daun, dan histogram untuk berat kering total serta berat kering biji pertanaman.
Istilah kultivar dalam bahasa inggris berarti pengelompokan dasar yang sejajar dengan taksonomi bagi tanaman budidaya. Kultivar merupakan sekelompok tanaman yang telah diseleksi untuk satu atau beberapa karakteristik tertentu yang khas dan dapat dibedakan secara jelas dari kelompok lainnya, seragam, stabil serta tetap mempertahankan ciri-ciri khas ini jika diperbanyak dengan cara tertentu, baik secara seksual maupun aseksual. Bahan tanam yang dapat disebut kultivar mencakup material dari benih hasil pemuliaan seleksi, persilangan, perbanyakan vegetatif, variasi somaklonal, fusi sel/protoplas, rekayasa genetika, poliploidisasi, dan cara-cara lainnya. Kultivar hibrida merupakan kultivar yang diperoleh dari hasil persilangan antar dua atau lebih jenis tanaman jagung yang memiliki karakter berbeda. Kultivar tanaman yang telah dilepas kemudian disebut sebagai varietas.
Varietas lokal termasuk varietas bersari bebas. Umumnya varietas hibrida lebih unggul dari pada varietas bersari bebas. Contoh varietas jagung bersari bebas antara lain Metro, Baster Kuning, Kania Putih, Malin, Harapan, Bima, Pandu, Permadi, Bogor Composite 2, Harapan Baru, Arjuna, Bromo, Parikesit, Abimayu, Nakula, Sadewa, Wiyasa, Kalingga, Rama, Bayu, Antasena, Wisanggeni, Bisma, Surya, Lagaligo, Gumarang, Lamuru, dan Kresna. Varietas bersari bebas yang merupakan hasil pemuliaan umumnya juga lebih unggul dibandingkan dengan varietas lokal yang tidak melalui tahap-tahap pemuliaan.
Salah satu keunggulan varietas hibrida pada umumnya adalah produktivitas yang tinggi. Ciri khas tanaman jagung hibrida yang mempengaruhi produktivitasnya antara lain tinggi tanaman, sudut daun, jumlah biji dan berat 1000 butir bijinya.
Langkah kerja praktikum ini diawali dengan dilakukannya pengamatan sebanyak dua kali pada jagung umur 8 dan 10 minggu. Variabel yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, bobot kering total (pada pengamatan 1 dan 2), jumlah polong, jumlah polong isi pertanaman, jumlah biji per polong, bobot kering biji pertanaman (pada pengamatan ke 2). Dari hasil pengamatan tersebut, kemudian dihitung LAI (Leaf Area Index), NAR (Net Assimilation Rate), CGR (Crop Growth Rate), dan HI (Harvest Index). persamaan regresi dibuat untuk tinggi tanaman, luas daun, jumlah daun, dan histogram untuk berat kering total serta berat kering biji pertanaman.
Pembahasan
Istilah kultivar dalam bahasa inggris berarti pengelompokan dasar yang sejajar dengan taksonomi bagi tanaman budidaya. Kultivar merupakan sekelompok tanaman yang telah diseleksi untuk satu atau beberapa karakteristik tertentu yang khas dan dapat dibedakan secara jelas dari kelompok lainnya, seragam, stabil serta tetap mempertahankan ciri-ciri khas ini jika diperbanyak dengan cara tertentu, baik secara seksual maupun aseksual. Bahan tanam yang dapat disebut kultivar mencakup material dari benih hasil pemuliaan seleksi, persilangan, perbanyakan vegetatif, variasi somaklonal, fusi sel/protoplas, rekayasa genetika, poliploidisasi, dan cara-cara lainnya. Kultivar hibrida merupakan kultivar yang diperoleh dari hasil persilangan antar dua atau lebih jenis tanaman jagung yang memiliki karakter berbeda. Kultivar tanaman yang telah dilepas kemudian disebut sebagai varietas.
Varietas lokal termasuk varietas bersari bebas. Umumnya varietas hibrida lebih unggul dari pada varietas bersari bebas. Contoh varietas jagung bersari bebas antara lain Metro, Baster Kuning, Kania Putih, Malin, Harapan, Bima, Pandu, Permadi, Bogor Composite 2, Harapan Baru, Arjuna, Bromo, Parikesit, Abimayu, Nakula, Sadewa, Wiyasa, Kalingga, Rama, Bayu, Antasena, Wisanggeni, Bisma, Surya, Lagaligo, Gumarang, Lamuru, dan Kresna. Varietas bersari bebas yang merupakan hasil pemuliaan umumnya juga lebih unggul dibandingkan dengan varietas lokal yang tidak melalui tahap-tahap pemuliaan.
Salah satu keunggulan varietas hibrida pada umumnya adalah produktivitas yang tinggi. Ciri khas tanaman jagung hibrida yang mempengaruhi produktivitasnya antara lain tinggi tanaman, sudut daun, jumlah biji dan berat 1000 butir bijinya.
Tanaman
jagung varietas hibrida memiliki jumlah biji yang lebih banyak dari pada
varietas lokal. Hasil DMRT α 5% menunjukkan adanya beda nyata jumlah biji kedua
varietas ini. Rata-rata jumlah butir biji jagung hibrida 356 butir per tongkol, 18 kali lebih
banyak dari pada varietas lokal yang hanya 20 butir.
Biji jagung tersusun pada
tongkolnya dalam baris-baris yang teratur dan kadang agak tidak teratur. Jumlah
baris per tongkol ikut menentukkan
hasil produksi
karena semakin banyak jumlah
baris pada tongkol maka potensi keluar biji yang banyak semakin besar.
Jumlah baris pada tongkol
jagung terkait dengan diameter tongkol. Tongkol berdiameter besar yang terisi
penuh dengan biji bisa memiliki jumlah baris yang banyak atau biji-biji yang
berukuran besar. Varietas hibrida memiliki jumlah baris per
tongkol yang jauh lebih besar dari pada varietas lokal. Ada beda nyata rata-rata jumlah
baris per tongkol untuk kedua varietas
ini. Rata-rata jumlah baris per tongkol varietas hibrida adalah 13 baris, tiga kali lebih banyak dari
pada varietas
lokal yang hanya
4
baris.
Berat
kering biji varietas hibrida lebih baik bila dibandingkan dengan varietas lokal namun tidak berbeda nyata menurut DMRT
α 5%. Rata-rata berat kering biji varietas
hibrida adalah sebesar 27,7 gram Sembilan
kali lebih banyak dari varietas
lokal yang hanya
3,1
gram. Tidak adanya
beda nyata pada uji DMRT dikarenakan perbedaan hasil yang besar antara panen
pertama pada umur delapan dengan panen kedua umur sepuluh minggu setelah tanam,
serta variasi yang besar antar tanaman jagung varietas lokal dalam sekali panen. Varietas jagung lokal memiliki
variasi yang tinggi karena heterozigositasnya tinggi.
Semakin
banyak jumlah tongkol yang
menghasilkan maka semakin banyak pula hasil bijinya. Akan tetapi jumlah
tongkol yang banyak dalam suatu tanaman jagung dapat menyebabkan besarnya kompetisi antar tongkol dalam menggunakan asimilat sehingga hasil yang
diperoleh tidak optimal. Terlebih
bagian dari tongkol banyak terbuang pada sumbu dan kelobotnya. Jumlah
tongkol (Gambar 4) kedua
varietas tidak berbeda,
yaitu sama-sama satu buah.
Pada Gambar 5
tampak
hubungan antara indeks luas
daun
dan indeks panen
pada jagung varietas hibrida korelasi negatif dengan gradien yang sangat rendah.
Setiap
pertambahan luas daun
jagung terhadap luas lahan yang ditanami
varietas
hibrida diikuti dengan penurunan nilai indeks panen pada taraf yang mendekati nol.
Nilai R2 yang rendah (mendekati 0) mengindikasikan bahwa kedua
variabel ini memiliki hubungan yang tidak erat. jagung varietas hibrida memiliki indeks luas daun sebesar 1,25 dan nilai
indeks panennya 0,367.
Apabila nilai indeks luas daun
sudah melampaui batas kritis maka akan terjadi mutual shading antar tajuk daun sehingga menyebabkan penurunan laju
asimilasi bersih yang dihasilkan source dan
tentunya akan berdampak pada laju pengisian berat kering pada tanaman yang
menurun sehingga berat kering ekonomis tidak optimum, hal ini akan
mengakibatkan penurunan indeks
panen. Namun mutual
shading ini dapat
dicegah dengan pengaturan sudut daun.
Indeks panen tanaman jagung
merupakan hasil bagi berat kering biji dengan berat kering total tanamannya
yang meliputi akar, batang, daun, tongkol dan bijinya. Tanaman jagung varietas hibrida
memiliki berat kering total sekitar 130,89 gram, tiga kali lebih besar dari pada
varietas lokal sebesar 45,93 gram. Akan tetapi menurut hasil analisis DMRT α 5% berat kering total kedua varietas
ini tidak berbeda nyata. Tidak
adanya beda nyata seperti halnya pada variabel jumlah baris per tongkol, yaitu
karena perbedaan hasil yang besar antara panen pertama pada umur delapan dengan
panen kedua umur sepuluh minggu setelah tanam, serta variasi yang besar antar
tanaman jagung varietas lokal dalam sekali panen
Tinggi
tanaman jagung
dalam praktikum ini diukur
dari permukaan tanah hingga ujung
daun tertinggi. Jagung
varietas hibrida secara nyata tinggi tanaman yang
lebih tinggi daripada tanaman Jagung
varietas
lokal. Rata-rata tinggi tanaman Jagung varietas
hibrida 245,967 cm, 1,7 kali
lebih tinggi dari varietas lokal yang rata-rata tingginya 140,617 cm. Tinggi tanaman menunjukkan kemampuannya dalam bersaing
untuk mendapatkan cahaya. Tanaman yang lebih tinggi akan mendapatkan cahaya
yang lebih banyak dari pada tanaman yang rendah karena tanaman yang di bawah
cenderung ternaungi. Semakin banyak cahaya yang diperoleh tanaman C4 seperti
jagung semakin baik bagi produktivitasnya.
Hubungan
indeks luas daun dan laju
pertumbuhan tanaman jagung varietas hibrida (Gambar 8) menunjukkan
adanya hubungan positif
yang erat, maksudnya pada setiap pertambahan indeks luas daun
diikuti
dengan pertambahan laju
pertumbuhan tanaman. Persamaan Tanaman jagung varietas hibrida memiliki laju pertumbuhan tanaman 1,658 kg/m2/minggu pada indeks luas daun sebesar 1,25. Indeks luas daun yang besar sampai
batas optimal meningkatkan laju pertumbuhan tanaman. Batas kritis indeks luas daun salah satunya
dipengaruhi oleh sudut daun.
Sudut
daun diukur dari bidang vertikal batang tanaman karena bidang horizontal yang semestinya menjadi acuan bersifat
maya. Jagung
varietas lokal memiliki rata-rata sudut
daun yang lebih besar dari tanaman jagung varietas hibrida. Rata-rata sudut daun dari varietas
hibrida sebesar 31,40, secara nyata lebih tegak dari pada varietas
lokal yang sudut
daunnya
40,90.
Pada indeks luas daun yang
besar, sudut daun yang besar atau daun yang mendatar menyebabkan terjadinya mutual shading
yang tidak menguntungkan
bagi produksi asimilat. Maka dari itu, indeks luas daun kritis yang
menyebabkan produksi maksimal tanaman pada tanaman berdaun tegak lebih tinggi
dari pada tanaman berdaun mendatar.
Ada
hubungan negatif yang erat antara
indeks luas daun dan laju asimilasi bersih tanaman jagung varietas hibrida. Setiap peningkatan indeks luas daun
pada
tanaman jagung varietas hibrida diikuti akan
menurunkan laju asimilasi
bersihnya. Hal ini dapat terjadi karena indeks luas daun di atas 1,5
sudah melewati batas
indeks luas daun kritis. Pada saat ndeks luas daun
jagung varietas hibrida sebesar 1,25, nilai rata-rata laju asimilasi bersih sebesar 0,049
g/cm2/minggu.
Tanaman jagung varietas hibrida memiliki luas daun yang secara nyata lebih baik dari pada tanaman jagung varietas lokal. Rata-rata luas daun tanaman jagung varietas lokal adalah sebesar 1561,7 cm2 sedangkan varietas hibrida adalah 1751,8 cm2. Luas daun merupakan penentu produktivitas tanaman karena daun merupaka organ utama yang berfungsi memproduksi asimilat. Namun demikian, setelah melewati indeks luas daun kritis, luas daun yang terlalu besar ini justru tidak baik karena daun menjadi tidak produktif.
Sering kali luas daun dipengaruhi oleh jumlah daun. Seperti halnya luas daun, tanaman Jagung varietas hibrida memiliki rata-rata jumlah daun yang lebih banyak dari tanaman Jagung varietas lokal, namun perbedaan pada jumlah daun ini tidak berbeda nyata. Rata-rata jumlah daun varietas hibrida adalah sebesar 6,667 sedangkan rata-rata jumlah daun varietas lokal adalah 9,667. Untuk menurunkan indeks luas daun sehingga dicapai titik optimum dapat dilakukan di antaranya dengan cara penglentekan daun atau pemotongan sebagian daun. Dengan jumlah daun yang tidak berbeda nyata, sebaiknya untuk jagung hibrida penurunan indeks luas daun dilakukan dengan cara pemotongan sebagian daun.
Varietas hibrida memiliki produktivitas lebih tinggi dari pada varietas lokal disebabkan tinggi tanaman yang lebih tinggi, jumlah biji lebih banyak, berat kering biji lebih besar, jumlah baris biji per tongkol lebih banyak dan sudut daun lebih tegak. Meski demikian, indeks luas daun varietas hibrida dalam praktikum ini telah melewati batas kritisnya sehingga cenderung menurunkan produksi yang semestinya dapat lebih baik. Sebaiknya untuk jagung hibrida dilakukan penurunan indeks luas daun dengan cara pemotongan sebagian daun.
Tanaman jagung varietas hibrida memiliki luas daun yang secara nyata lebih baik dari pada tanaman jagung varietas lokal. Rata-rata luas daun tanaman jagung varietas lokal adalah sebesar 1561,7 cm2 sedangkan varietas hibrida adalah 1751,8 cm2. Luas daun merupakan penentu produktivitas tanaman karena daun merupaka organ utama yang berfungsi memproduksi asimilat. Namun demikian, setelah melewati indeks luas daun kritis, luas daun yang terlalu besar ini justru tidak baik karena daun menjadi tidak produktif.
Sering kali luas daun dipengaruhi oleh jumlah daun. Seperti halnya luas daun, tanaman Jagung varietas hibrida memiliki rata-rata jumlah daun yang lebih banyak dari tanaman Jagung varietas lokal, namun perbedaan pada jumlah daun ini tidak berbeda nyata. Rata-rata jumlah daun varietas hibrida adalah sebesar 6,667 sedangkan rata-rata jumlah daun varietas lokal adalah 9,667. Untuk menurunkan indeks luas daun sehingga dicapai titik optimum dapat dilakukan di antaranya dengan cara penglentekan daun atau pemotongan sebagian daun. Dengan jumlah daun yang tidak berbeda nyata, sebaiknya untuk jagung hibrida penurunan indeks luas daun dilakukan dengan cara pemotongan sebagian daun.
Kesimpulan
Varietas hibrida memiliki produktivitas lebih tinggi dari pada varietas lokal disebabkan tinggi tanaman yang lebih tinggi, jumlah biji lebih banyak, berat kering biji lebih besar, jumlah baris biji per tongkol lebih banyak dan sudut daun lebih tegak. Meski demikian, indeks luas daun varietas hibrida dalam praktikum ini telah melewati batas kritisnya sehingga cenderung menurunkan produksi yang semestinya dapat lebih baik. Sebaiknya untuk jagung hibrida dilakukan penurunan indeks luas daun dengan cara pemotongan sebagian daun.
Budiman, L. F dan S. Sujiprihati. 2002. Evaluasi
Hasil dan Pendugaan Heterosis pada Delapan Jagung Hibrida. Prosiding Ekspose
Hasil Penelitian Bioteknologi Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.
Dowswell, C. R., R. L. Paliwol, and R. P. Cantrell. 1996. Maize in Third World. Westview
Press.
Fischer, K. S. dan A. F. E. Palmer. 1996. Jagung
Tropik. Dalam: Fisiologi Tanaman Tropik, Editor: PR. Goldworthy dan N. M.
Fischer, Terjemahan : Tohari. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Goldsworthy, P. R. 1996. Pertumbuhan dan
Perkembangan Tanaman, Fase Reproduktif. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik.
Gadjah Mada University, Yogyakarta.
Hyene, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia – I.
Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan, Bogor.
Indradewa, D., D. Kastono, dan Y. Soraya 2005.
Kemungkinan peningkatan hasil jagung dengan pemendekan batang. Ilmu Pertanian
22: 117-124.
Iriany, R. N., M. Yasin, dan A. Takdir. 2007. Asal,
Sejarah, Evolusi, dan Taksonomi Tanaman Jagung. Balai Penelitian Tanaman
Serealia, Bogor.
Reta-Sanchez, D. G. and J. L. Fowler. 2002. Canopy
light environment and yield or narrow-row cotton as affected by canopy
architecture. J. Agron 94: 1317-1323.
Rolig, M., H. Sutzel, and C. Alt. 1999. A three
dimensional approach to modelling light interception in heterogenous canopies.
J. Agron 91: 1024-1032.
Salisbury, F. B. dan Ross C. W. 1995. Fisiologi
Tumbuhan II, Edisi 4. Penerbit Institute Teknologi Bandung, Bandung.
Stewart, D.W., C. Costa, L.M. Dwyer, D. L. Smith, R.
I. Hamilton and B.L. Ma. 2003. Canopy structure, light interception, and
photosynthesis in maize. J. Agron 95:1465-1474.
Sudjana, A., A. Rifin dan M. Sudjadi. 1991. Jagung.
Bul. Teknik no. 4. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik.