Beberapa
peneliti telah melaporkan bahwa hasil panen biji tanaman jagung dipengaruhi
oleh hubungan antara sumber dan lubuk asimilat.
Menurut Fisher dan Plamer (1996) pada varietas jagung tropik, hasil biji yang rendah kebanyakan disebabkan oleh pembagian bahan kering total ke biji yang rendah. Pengurangan kebutuhan asimilat oleh batang dan malai bunga jantan pada tanaman jagung yang lebih pendek meningkatkan bobot kering tongkol pada saat pembungaan.
Dalam
siklus karbon, atom karbon terus mengalir dari produsen (sumber) ke konsumen (lubuk) dalam
bentuk molekul CO2 dan karbohidrat, sedangkan energi foton matahari
digunakan sebagai pemasok energi yang utama. Produsen memerlukan CO2
yang dihasilkan konsumen untuk fotosintesis. Dari kegiatan fotosintesis
tersebut produsen dapat menyediakan karbohidrat dan oksigen yang diperlukan
oleh konsumen untuk melangsungkan kehidupannya (Anshory, 1984).Menurut Fisher dan Plamer (1996) pada varietas jagung tropik, hasil biji yang rendah kebanyakan disebabkan oleh pembagian bahan kering total ke biji yang rendah. Pengurangan kebutuhan asimilat oleh batang dan malai bunga jantan pada tanaman jagung yang lebih pendek meningkatkan bobot kering tongkol pada saat pembungaan.
Cahaya
merupakan sumber energi bagi proses fotosintesis. Serapan cahaya matahari oleh
tajuk tanaman merupakan faktor penting yang menentukan produksi asimilat bagi
pembentukan hasil berupa biji. Cahaya matahari yang diserap tajuk tanaman
proporsional dengan total luas lahan yang dinaungi oleh tajuk tanaman (Rohig dkk.,
1999).
Indradewa
dkk. (2005) menjelaskan hubungan sumber-lubuk ini dengan perbandingan matematis.
Menurutnya, aliran relatif dan remobilisasi karbon (C) dan nitrogen (N) ke biji
selama pengisian biji tergantung pada nisbah sumber/lubuk tertentu pada tanaman
tersebut. Besarnya kecilnya nisbah ini tergantung pada genotipe dan kombinasi
lingkungan yang dapat diubah oleh faktor manajemen tanaman, kerapatan populasi,
unsur hara, air, dan lain-lain.
Menurut Stewart
dkk. (2003), faktor populasi, jarak antar baris dan bentuk tajuk akan
mempengaruhi sebaran daun. Kerapatan populasi tanaman juga mempengaruhi
distribusi cahaya yang akan digunakan untuk proses fotosintesis pada daun dan
bagian tanaman lain yang berfungsi sebagai sumber/produsen asimilat. Distribusi
cahaya dalam tajuk digambarkan oleh Gardener dkk. (1985) dan Indradewa dkk. (2005)
dengan hubungan antara indeks luas daun kumulatif tiap lapisan nomor daun
dengan intensitas cahaya yang diterima daun tersebut, yang dinyatakan dalam
persen terhadap intensitas cahaya di bagian tajuk. Hubungan ini mengikuti hukum
Beer-Lambert dengan pola eksponensial.
Reta-Sanchez
dan Fowler (2002) menyatakan bahwa pengurangan tinggi tanaman dan cabang yang
pendek diperhitungkan meningkatkan penetrasi cahaya di dalam tajuk. Ini terjadi
karena susunan daun di dalam tajuk lebih menentukan serapan cahaya dibanding
indeks luas daun. Jumlah, sebaran dan sudut daun pada suatu tajuk tanaman
menentukan serapan dan sebaran cahaya matahari sehingga mempengaruhi
fotosintesis dan hasil tanaman.
Kacang
tunggak (Vigna unguiculata) termasuk
dalam famili fabaceae. Fabaceae merupakan suku tanaman polong-polongan. Kerabat
dekat kacang tunggak dalam suku ini yaitu kacang panjang, kacang merah, kacang tolo lembut, kacang laut, dan kacang bogor (Anonim, 2012).
Spesies ekonomis vigna dapat tumbuh dengan sukses pada lingkungan yang ekstrem
(misalnya suhu dan curah hujan yang rendah, serta tanah yang miskin hara)
dengan input ekonomi yang sedikit.
Baik hasil panen biji maupun residu dari tanaman ini dapat memberikan manfaat
yang berarti (Fery, 2002).
Tanaman
kacang tunggak memiliki adaptasi yang luas pada berbagai agroklimat, toleran
terhadap kekeringan, namun belum ditanam dalam skala luas oleh petani. Kacang
tunggak juga toleran terhadap naungan, sehingga dapat digunakan sebagai tanaman
sisipan pada pola tanam tumpangsari. Hingga kini kacang tunggak biasa ditanam
pada pematang sawah atau sebagai tanaman sisipan pada tumpangsari ubikayu +
jagung + kacang tanah di lahan tegal (Kasno dan Trustinah, 2011).
Sampai
saat ini sudah tersedia lima varietas unggul kacang tunggak unggul, yakni KT1,
KT2, KT3, KT4 dan KT5 dengan umur berkisar antara 60-70 hari dan daya hasil
sekitar 1,5 t/ha biji. Kelima varietas tersebut telah dikenal dan ditanam
sebagian petani di Jawa Timur, Bali, NTB dan NTT. Dengan budidaya cara petani,
hasil kacang tunggak hanya 0,8 t/ha. Penggunaan 22,5 kg urea, 50 kg TSP, 22,5
KCl, 10 kg Furadan, 2l Azodrin dan 2l Thiodan/ha mampu meningkatkan hasil
kacang tunggak sebesar 35% (Trustinah dan Kasno (2011).
Metodologi
Praktikum
Fisiologi Tanaman berjudul Keterbatasan Source (Sumber) dan Sink
(Lubuk), Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman ini dilaksanakan
pada hari Kamis, 11
Oktober 2012, di lahan
petani di Banguntapan, Bantul. Bahan yang digunakan pada praktikum
kali ini adalah Kacang Tunggak (Vigna unguiculata). Alat-alat yang digunakan
adalah timbangan, penggaris, gunting, oven, koran, kertas label, tali rafia,
tongkat kayu, dan alat tulis. Perlakuan berupa persentase source
dan
sink terhadap kontrol,
sehingga ada tiga macam perlakuan yang diberikan, yaitu K
(kontrol, tidak diperlakukan/utuh), D 50 (daun ada yang dipotong, sehingga
tinggal 50% dari jumlah daun
kontrol),
B 50 (buah ada yang dipotong, sehingga tinggal 50% dari jumlah buah kontrol).
Rancangan percobaan yang digunakan adalah RAKL (Rancangan Acak Kelompok
Lengkap) dengan kelompok yang sebagai blok.
Setelah tanaman Kacang
Tunggak (Vigna unguiculata) disiapkan, kemudian dibuat blok-blok pada
pertanaman. Dalam setiap blok, perlakuan diulang sebanyak tiga kali dengan satu
tanaman sampel pada masing-masing ulangan. Pemberian perlakuan dimulai ketika
tanaman mulai membentuk bunga. Pengamatan dilakukan dua kali setelah tanaman membentuk
bunga, yaitu pada saat umur enam dan delapan minggu setelah tanaman. Variabel yang
diamati meliputi luas daun, berat segar total (tajuk dan akar), jumlah polong
dan jumlah biji per polong, dan bobot kering biji. Dari hasil pengamatan,
kemudian dihitung LAI (Leaf Area Index), NAR (Net Assimilation Rate),
CGR (Crop Growth Rate), dan HI (Harvest Index). Selanjutnya,
dibuat regresi antara LAI dengan NAR, LAI dengan CGR, dan LAI dengan HI. Kemudian,
dibuat grafik luas daun, jumlah daun, dan histogram berat kering total.
Dalam konteks fisiologi
tanaman, istilah source (sumber) dan sink (lubuk) merupakan dua macam bagian
tanaman yang digolongkan berdasarkan fungsi dominannya dalam aktifitas terkait
fotosintesis tanaman tersebut. Aktifitas fotosintesis dapat dianalogikan
seperti aktifitas sebuah industri yang memproduksi asimilat dan hasil sampingan
lainnya. Agar industri tersebut dapat berjalan dengan lancar dan memberikan
keuntungan maksimal maka dibutuhkan pabrik berkapasitas produksi besar, gudang
yang mampu menampung hasil produksi sebanyak mungkin, serta sistem transportasi
antara pabrik dan gudang yang lancar. Pada tanaman kacang tunggak, source (pabrik) merupakan bagian tanaman
yang lebih banyak berkontribusi dalam produksi asimilat dari pada besarnya
asimilat yang digunakan, misalnya daun yang ukurannya sudah maksimal. Sedangkan
sink sebaliknya, merupakan bagian
tanaman yang lebih banyak menggunakan hasil asimilasi dari pada memproduksi
asimilat, misalnya buah yang sudah mulai terisi polongnya, daun yang masih muda
dan batang tanaman yang ternaungi. Sistem transportasi mencakup seluruh sistem
pengangkutan pada tanaman, yang diantaranya adalah xylem, floem, sel-sel
penjaga serta konsentrasi ion K dan Na dalam jaringan. Kapasitas xylem dalam
mengangkut hara dan air dari dalam tanah ke lokasi source dapat mempengaruhi produksi asimilat oleh source tersebut, demikian halnya dengan
floem dapat mempengaruhi besar-kecilnya penimbunan asimilat di lokasi sink.
Satu atau lebih di antara
faktor source, sink dan sistem jaringan pengangkut bisa saja menjadi pembatas
produksi tanaman bila pengaruh pengurangan jumlahnya sampai batas tertentu
menyebabkan penurunan produksi. Namun dalam melakukan analisis hubungan source-sink secara sederhana dengan
metode penghilangan sebagian organ ini, faktor
yang dapat dihitung hanya source dan sink-nya, sedangkan pengaruh faktor
sistem jaringan pengangkut belum dapat diperkirakan secara pasti. Faktor source
dan sink pun digeneralisasi pada bagian tanaman yang umumnya berfungsi sebagai
sumber yaitu daun dan lubuk yaitu buah, sedangkan perbandingan sumber/lubuk-nya
diabaikan.
Berdasarkan hasil perbandingan
Indeks Panen (Harvest Index) antar
perlakuan, pengurangan sebagian daun maupun buah tidak berbeda nyata dengan
kontrol, namun secara kasar dengan histogram dapat diketahui gambaran pengaruh
pembatasan salah satu faktor tersebut terhadap berat kering hasil bijinya.
Berat segar buah merupakan
besaran hasil ekonomis kacang tunggak, karena pada umumnya kacang tunggak
dijual dalam bentuk buah utuh yang masih segar. Pada saat aplikasi perlakuan
umur 6 minggu setelah tanam, berat segar buah dari tanaman yang dikurangi 50%
buahnya sedikit lebih rendah dari pada tanaman yang dikurangi 50% daunnya. Dua
minggu setelah perlakuan pengurangan sebagian organ ini, tanaman yang dikurangi
50% daunnya tidak mengalami penurunan berat segar buah, sedangkan tanaman yang
dikurangi 50% buahnya mengalami sedikit penurunan berat segar buah, yaitu
sekitar 2 gram. Sedikit penurunan berat segar buah ini menunjukkan bahwa buah
merupakan bagian utama dari tanaman kacang tunggak yang berfungsi sebagai
lubuk, namun kapasitas tiap buahnya dalam menampung asimilat dapat meningkat
ketika jumlah buah dikurangi. Sedangkan daun pada tanaman ini bukan merupakan
satu-satunya sumber asimilat, sehingga pengurangan jumlah daun tidak
mempengaruhi berat segar buah.
Pada ketiga macam perlakuan
saat umur 6 MST, jumlah buah tanaman kacang tunggak sebanding dengan berat
segar buahnya. Sedangkan pada umur 8 MST pengurangan jumlah daun sebanyak 50%
meningkatkan jumlah buah dari 3 menjadi 4 buah per tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa bagian salah satu
bagian lain dari tanaman kacang tunggak yang berfungsi sebagai lubuk selain
buah adalah daun. Setelah daun dikurangi maka konsumsi daun terhadap asimilat
menjadi berkurang, sehingga asimilat yang biasanya dialirkan ke daun dialihkan
untuk menghasilkan buah lagi. Mekanisme ini terjadi karena adanya proses
adaptasi dalam tubuh tanaman.
Distribusi asimilat dalam
tubuh tanaman diatur oleh hormon-hormon tertentu, seperti giberelin, sitokinin
dan asam absisat. Menurut American Society for Horticultural Science (2010),
ada enam kelas Zat Pengatur Tumbuh / Plant
Growth Regulators (PGR). Di antara keenam PGR tersebut ada empat PGR yang dapat
mempengaruhi distribusi asimilat, yaitu (1) auksin (untuk pemanjangan tunas),
(2) giberelin (untuk menstimulasi pembelahan dan pemanjangan sel), (3)
sitokinin (untuk menstimulasi pembelahan sel), dan (4) pembangkit etilen (untuk
pemasakan buah). Pada tanaman yang baru saja memasuki fase generatif, kadar
giberelin yang diproduksi belum mencapai titik minimum, yang berarti
pertumbuhan vegetatif masih berlangsung secara lambat. Pengurangan sejumlah
daun mengakibatkan stress pada tanaman yang ditanggapi dengan produksi etilen
dan penghambatan sintensis giberelin. Interaksi antara kedua hormon tersebut
bisa jadi memicu peningkatan produksi buah tanaman kacang tunggak.
Berat biji kering tanaman kacang tunggak
umur 6 MST mengalami sedikit penurunan akibat pengurangan jumlah buah dan
jumlah daun karena keterbatasan sumber dan lubuk asimilat. Namun, setelah dua
minggu tanaman dapat mengalihkan fungsi sumber asimilat ke bagian organ selain
daun secara efektif sehingga produksi dapat meningkat meskipun jumlah daun yang
tersisa hanya tinggal 50% dari semula.
Bagian tanaman kacang tunggak selain daun
yang dapat menjadi sumber asimilat yaitu batang dan kulit buah. Kedua bagian
ini memiliki jaringan parenkim yang di dalamnya terdapat klorofil dalam jumlah
yang lebih sedikit dari pada jumlah klorofil yang ada pada daun. Seperti halnya
mekanisme penghambatan sintesis giberelin oleh zat retardan, pemangkasan daun
bisa jadi memiliki pengaruh yang hampir sama. Menurut Audus (1972), retardan
dapat meningkatkan ketebalan daun dan kandungan klorofil. Sehingga bila kandungan
klorofil dalam batang dan kulit buah meningkat maka produksi asimilat pun akan
meningkat.
Dalam
cakupan distribusi asimilat yang lebih luas, yaitu pada tanaman secara
keseluruhan, berat segar dan berat kering tanaman tidak dibatasi oleh jumlah
buah maupun jumlah daun karena keduanya memiliki alternatif pengganti fungsi
lubuk dan sumbernya masing-masing. Oleh karenanya, pengurangan jumlah buah atau
daun justru meningkatkan barat segar dan berat kering total tanaman dua minggu
pasca perlakuan.
Pada tanaman perlakuan
kontrol, peningkatan indeks luas daun yang diikuti oleh peningkatan indeks
panen berarti bahwa daun masih berfungsi secara efisien sebagai produsen
asimilat dan jarak tanam yang diterapkan tidak menyebabkan adanya mutual shading (penaungan antar daun
dapat menurunkan hasil tanaman). Nilai R2 yang
mendekati nol menyatakan kerenggangan
hubungan antara
variabel luas daun dengan
indeks panen. Peningkatan
nilai
LAI akan sedikit
meningkatkan HI.
Pada saat nilai rata-rata LAI sebesar 1,75 (setiap 1,75 m2 daun berada di atas 1 m2
lahan), rata-rata
nilai HI sebesar
0,20 (berat ekonomis
tanaman sebesar 20% dari berat totalnya).
Tanaman yang dikurangi jumlah
buahnya 50% menurun indeks panennya karena keterbatasan kapasitas buah sebagai
lubuk asimilat. Asimilat yang diproduksi dan tidak dapat didistribusikan lagi
ke buah kemudian dialihkan ke bagian organ lain seperti daun. Nilai
R2 mendekati satu menyatakan keeratan hubungan faktor luas daun dan indeks panen pada perlakuan ini. Pada perlakuan ini pertambahan nilai LAI
akan diiringi
dengan penurunan
HI sampai LAI mencapai batas kritis yaitu keadaan dimana LAI menyebabkan laju
tanaman minimum.
Nilai LAI perlakuan ini sebesar
3,52, tertinggi
diantara perlakuan lain,
tetapi
perlakuan ini
memiliki nilai HI terendah yaitu 0,17.
Perlakuan
pengurangan jumlah daun 50%
menghasilkan nilai LAI terendah bila dibandingkan dengan
perlakuan yang lain yaitu 1,56 tetapi nilai HI-nya tertinggi yaitu 0,31. Namun demikian, indeks luas daun dan indeks panen
tanaman pada perlakuan ini memiliki korelasi negatif dengan hubungan yang kuat
(R2 mendekati
1). Tanaman yang dikurangi jumlah daunnya 50% menurun indeks panennya ketika
indeks luas daunnya mengalami peningkatan. Hal ini berarti bahwa penurunan
indeks panen bukan dikarenakan sumber asimilat yang terbatas, melainkan karena peningkatan
penimbunan asimilat bada bagian selain buah, baik itu daun, batang, akar,
maupun bunga.
Hubungan
yang nyata
(regresi mendekati 1)
dan positif terlihat pada
perlakuan kontrol. Setiap pertambahan nilai indeks luas daun diikuti dengan peningkatan laju pertumbuhan tanaman. Hal ini
terjadi karena nilai
indeks luas daun masih efisien dalam memanfaatkan cahaya
yang tersedia untuk
fotosintesis.
Indeks luas daun
rata-rata
tanaman kontrol sebesar 1,75 dan laju
pertumbuhan sebesar 0,1 kg/m2/minggu. Peningkatan laju pertumbuhan tanaman yang cukup besar
ketika terjadi peningkatan indeks luas daun, menunjukkan bahwa setelah terjadi
pembungaan asimilat masih banyak didistribusikan untuk pertumbuhan vegetatif.
Tanaman yang memiliki tipe pertumbuhan indeterminate seperti ini cenderung
memiliki ketahanan daun yang baik untuk tetap hijau dan melakukan fotosintesis,
namun hal ini juga dapat menjadi faktor penyebab lambatnya peningkatan hasil
panen ekonomis karena pembagian asimilat ke banyak organ.
Peningkatan indeks luas daun
tidak berpengaruh besar terhadap peningkatan laju pertumbuhan tanaman yang
dikurangi jumlah buahnya 50%. Hal ini berarti bahwa daun masih dapat melakukan
fotosintesis secara efisien, namun keterbatasan daya tampung pada lubuk
menyebabkan pertumbuhan tanaman juga merhambat.
Sedikit berbeda dari
perlakuan tanaman yang dikurangi buahnya 50%, tanaman yang dikurangi daunnya
50% menunjukkan peningkatan pertumbuhan yang sedikit lebih tinggi. hal ini
dapat terjadi ketika terjadi peningkatan indeks luas daun yang besar hingga
sebagian daun berubah fungsi menjadi lubuk. Namun nilai regresi yang mendekati
0 mengindikasikan bahwa hubungan kedua faktor ini tidak kuat.
Laju asimilasi bersih
merupakan laju pertambahan berat tanaman yang dapat dihasilkan oleh setiap cm2
daun setiap minggu. Pada tanaman perlakuan kontrol, peningkatan angka 1
indeks luas daun diikuti dengan peningkatan laju asimilasi bersih sebesar 0,012
kali indeks luas daun + 0,016. Hubungan ini tampak sangat kuat dengan nilai
regresi yang mendekati 1. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kondisi normal,
setiap luasan daun sangat efisien dalam melakukan fotosintesis.
Tanaman yang dikurangi
jumlah buahnya 50% menunjukkan nilai korelasi yang negatif. Setiap
penambahan luas area daun
justru menurunkan
laju asimilasi bersihnya. Namun
nilai
R2 yang mendekati 0 menunjukkan bahwa nilai indeks luas daun tidak terlalu
mempengaruhi penurunan nilai laju asimilasi bersihnya. Nilai LAI rata-rata sangat besar, yaitu 3,52 dengan laju
asimilasi bersih yang tidak sebanding dengan besar peningkatan indeks luas
daunnya, 0,006 g/cm2/minggu.
Hal ini berarti bahwa terjadi
keterbatasan lubuk, yang kemudian asimilat didistribusikan untuk pertambahan
luas daun. Penambahan jumlah dan panjang sel dipengaruhi oleh aktivitas hormon
sitokinin dan giberelin.
Tidak jauh berbeda dengan
tanaman yang dikurangi jumlah buahnya 50%,
tanaman yang dikurangi jumlah daunnya 50% juga menunjukkan nilai
korelasi yang negatif antara indeks luas daun dan laju asimilasi bersihnya. Setiap
penambahan luas area daun
juga menurunkan
laju asimilasi bersihnya. Namun
nilai
R2 sedikit lebih
tinggi. Nilai LAI rata-rata tanaman sebesar
1,56 dengan laju
asimilasi bersih sebesar 0,009 g/cm2/minggu.
Namun dengan indeks luas
daun yang paling rendah, perlakuan ini menunjukkan nilai laju asimilasi bersih paling tinggi
dibandingkan dengan perlakuanperlakuan
lainnya. Hal ini berarti bahwa meskipun luas daun yang ada terbatas, namun
fotosintesis masih terjadi dengan baik, bisa jadi ini karena adanya peningkatan
jumlah klorofil dalam jaringan akibat pemangkasan sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya.
Perlakuan pengurangan jumlah
daun sedikit menurunkan luas daun karena jumlah daun sebanding dengan luas
daun, sedangkan pengurangan jumlah buah meningkatkan luas daun pada umur 8 MST
karena sebagian daun berubah fungsi menjadi lubuk. Daun yang berfungsi sebagai
lubuk pada perlakuan pengurangan jumlah buah ini tidak dapat memberikan
kontribusi yang nyata bagi peningkatan laju asimilasi bersih, laju pertumbuhan
tanaman, dan berat ekonomis tanaman, melainkan hanya meningkatkan berat total
tanamannya saja.
Dengan demikian, daun bukan
merupakan faktor pembatas bagi produksi tanaman kacang tunggak karena sumber
asimilat bukan hanya daun melainkan kulit buah, batang, akar, dan bunga.
Sedangkan buah merupakan faktor pembatas produksi karena adanya keterbatasan
kapasitas setiap buah dalam menampung asimilat. Terjadinya peningkatan laju
asimilasi tidak mampu meningkatkan produksi jika jumlah buah terbatas karena
asimilat tidak dapat dialokasikan seluruhnya pada buah melainkan pada pertambahan
luas daun.
Source (sumber)
merupakan bagian tanaman yang lebih banyak memproduksi dari pada menggunakan
asimilat. Sedangkan sink (lubuk)
merupakan bagian tanaman yang lebih banyak menggunakan hasil asimilasi dari
pada memproduksi asimilat.
Daun bukan merupakan faktor
pembatas bagi produksi tanaman kacang tunggak karena sumber asimilat bukan
hanya daun melainkan kulit buah, batang, akar, dan bunga. Sedangkan buah
merupakan faktor pembatas produksi karena adanya keterbatasan kapasitas setiap
buah dalam menampung asimilat. Terjadinya peningkatan laju
asimilasi tidak mampu meningkatkan produksi jika jumlah buah terbatas karena
asimilat tidak dapat dialokasikan seluruhnya pada buah melainkan pada
pertambahan luas daun. Untuk meningkatkan produksi kacang tunggak dapat
diupayakan peningkatan laju asimilasi melalui pemangkasan 50% daun.
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
Anonim.
2012. Kacang Tolo Vigna unguiculata
(L.) Walp. <http://www.plantamor.edu/index. php?plant=2235>.
Diakses 11 Oktober 2012.
Anshory,
I. 1984. Biologi Umum. Genesa Exact, Bandung.
Audus,
L.J. 1972. Plant Growth Substances. Leonard Hill, London.
Fery,
R.L. 2002. New opportunities in Vigna.
Trends in new crops and new uses. J. Janick: 424-428.
Fischer,
K. S. dan A. F. E. Palmer. 1996. Jagung Tropik. Dalam: Fisiologi Tanaman
Tropik. Editor: P.R. Goldworthy dan N.M. Fischer, terjemahan: Tohari. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Gardner,
F.P., Pearce, R.B., dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.
Penerjemah: Herawati S. UI. Press, Jakarta.
Indradewa,
D., D. Kastono, dan Y. Soraya 2005. Kemungkinan peningkatan hasil jagung dengan
pemendekan batang. J. Ilmu Pertanian 22: 117-124.
Kasno,
A. dan Trustinah. 2011. Uji paket teknologi budidaya kacang tunggak untuk lahan
marginal. Hasil Penelitian Pertanian Komoditas Kacang-kacangan. Pusat
Perpustakaan Pertanian dan Penyebaran Teknologi Pertanian. Abstrak.
Reta-Sanchez, D.G. and J.L. Fowler. 2002. Canopy Light Environment
and Yield or Narrow-Row Cotton as Affected by Canopy Architecture. J. Agron 94: 1317-1323.
Rohig,
M., H. Sutzel, and C. Alt. 1999. A three dimentional approach to modelling
light interception in heterogenous canopies. J. Agron 91: 1024-1032.
Stewart, D.W., C. Costa, L. M.
Dwyer, D. L. Smith, R. I. Hamilton and B. L. Ma. 2003. Canopy Structure, Light
Interception, and Photosynthesis in Maize. J. Agron 95: 1465-1474.
Trustinah
dan Kasno, A. 2011. Varietas dan teknik budi daya kacang tunggak untuk lahan
marginal. Hasil Penelitian Pertanian Komoditas Kacang-kacangan. Pusat
Perpustakaan Pertanian dan Penyebaran Teknologi Pertanian. Abstrak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik.