Pembangunan pertanian berarti pembangunan politik dalam lingkup lebih khusus, yaitu politik pertanian. Oleh karenanya, pembangunan pertanian tidak mungkin lepas dari campur tangan perpolitikan.
Meskipun demikian, beberapa kelompok muslim, yang seakan “fanatik” islam, enggan mengakui urgensi sentuhan politik dalam banyak bidang, termasuk pembangunan. Di lain pihak, para pembangun pertanian “di atas” memang sering mengundang pertanyaan atas pengembanan amanahnya. Sehingga generasi muda muslim kini diharapkan mampu menampik isu-isu tak sedap serta me-refresh pembangunan pertanian. Yaitu memberikan kontribusi dalam pembangunan pertanian dengan menjunjung tinggi predikat muslim-nya. Bukan hanya dalam nama “Haji” atau “Ustadz”, namun lebih penting dalam pengambilan kebijakan secara riil.
Dalam sebuah negara, adalah muskil jika ada satu unsur saja yang ingin dibebaskan dari sistem politik negara tersebut, itulah mengapa sebuah dalil menyebutkan “taatilah Allah, dan taatilah RasulNya, dan pemimpin di antara kamu”. Maknanya bahwa setiap muslim harus menaati siapapun pemimpinnya asalkan perintah pemimpin itu tidak bertentangan dengan perintah Allah dan RasulNya. Masalah apakah dasar perintah itu Al-Quran atau lainnya (di Indonesia: Pancasila) tidaklah perlu dipermasalahkan. Akan tetapi, alangkah lebih baik memang jika kuasa pembangunan pertanian berada di tangan seorang muslim sejati. Sehingga apapun dasar negaranya, kebijakan yang diambil akan selalu di dasarkan atas Al Quran, meskipun itu secara tidak langsung.
Maka dari itu, alangkah bijak jika generasi muda dan para fanatis muslim pada khususnya bersedia menceburkan diri dalam membangun pertanian dengan menjunjung tinggi islam sebagai jati diri, dan bukan sekadar protes atau berusaha menafikkan fakta urgensi politik dalam pembangunan pertanian di Negeri kita tercinta ini, Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik.